Menyongsong Lebaran

2 1 0
                                    


Abu tiba di rumah, setelah lima menit di kumandangkan adzan magrib. Untung dia di bekali oleh ustadz Nadi takjil untuk berbuka, sehingga, saat tiba waktu magrib, Abu bisa minum air putih dan makan beberapa butir kurma.

Suasana rumah menjadi asing bagi Abu, setelah enam bulan lamanya tidak menginjakan kaki di rumah, rasanya begitu bahagia. Abu begitu senang bisa berkumpul kembali bersama keluarga.

Kondisi rumah tidak ada yang berubah, masih tetap sama seperti saat enam bulan lalu abu pindah. Semuanya tetap seperti itu. Bahkan mesin jahit yang biasa di gunakan  Abah untuk menambal sarung-sarungnya, masih juga tetap ada di sana.

Justru yang berubah itu adalah postur tubuh adik-adiknya, nampak jelas perubahan Umar, Utsman dan Ali. Begitu lucu melihat tingkah polahnya. Sementara Khadijah dan Aisyah terlihat tidak terlalu banyak perubahan.

Yang mengejutkan Abu, ternyata Ambu sedang hamil besar, abu baru tahu bahwa ketika dia berangkat ke pondok, Ambu sudah hamil dua bulan. Artinya bulan depan Ambu sudah mempersiapkan kelahiran.

Mereka bahagia bukan hanya karena kedatangan Abu, tapi mereka bahagia karena sebentar lagi akan merayakan hari idul Fitri bersama keluarga.

Lima  hari di rumah sudah membuat abu merasa cukup terobati kerinduannya terhadap keluarga. dan ingin segera berangkat ke pondok. Justru ketika di rumah dia merasa hanya menambah pengeluaran Abah saja. Sementara dirinya tidak punya kemampuan untuk sumbangsih uang belanja. Tentunya berbeda dengan teman-teman seusianya yang pulang dari kota. Justru mereka membelikan baju lebaran, memberi angpau untuk adik dan keponakan, serta membekali uang  orangtuanya untuk hari raya idul Fitri.

Sepertinya Abu akan kembali bernostalgia dengan rutinitas masa lalu sebelum berangkat sekolah. Namun sepertinya kali ini lebih pelik. Jika dulu Uang dua ribu rupiah sudah cukup untuk pulang pergi ke sekolah. Kali ini, abu minimal membutuhkan 150 ribu agar sampai kembali ke pondok. Itu hanya pas untuk ongkos dan makan di jalan.

Abu menjadi lebih tidak yakin, saat menata kamar lamanya yang kini di tempati Khadijah, abu melihat kertas kuning kartu SPP SMP. itu kartu Khadijah. Kini Khadijah sudah hampir lulus SMP. dan Abu melihat stempel yang sudah di cap baru satu. Yaitu di bulan Juli. Sementara bulan lainnya masih kosong. Padahal sekarang sudah bulan Desember. Padahal bayaran SPP khodijah sebenarnya sangat murah. 50 ribu perbulan. Dulu masa dia sekolah SPP masih 35 ribu perbulan. Belum lagi pasti ambu butuh uang yang banyak untuk biyaya persalinan adiknya yang ke 6.

Abu tidak Sampai hati jika harus meminta uang ongkos, sementara adiknya sendiri tidak punya uang untuk bayar SPP. Namun masih ada waktu dua pekan lagi. Semoga ada rezeki dari jalan yang tidak di sangka-sangka, seperti yang di janjikan Allah bagi orang yang bertakwa.

Mang Jamal dan Mang Tamim kabarnya malam ini akan pulang dari Jakarta. Oyo Abu, sudah menyiapkan menu buka spesial untuk mereka berdua. Mereka sangat di nantikan oleh Oyo dan Ama. Karena selama ini mereka yang bisa di andalkan untuk membantu perekonomian keluarga nenek & kakek  Abu.

Abu dan adik-adiknya sore ini diundang secara spesial untuk buka bersama oleh Nenek dan kakeknya untuk menyambut kedatangan Mang Jamal dan Mang Tamim.

Setengah jam sebelum magrib motor smash yang di kendarai oleh mang Jamal dan mang Tamim sudah terparkir di rumah. Betapa bahagia para keponakan yang masih kecil-kecil seperti trio mungil, Umar, Utsman dan Ali. Mereka berlari kegirangan memeluk mang Jamal dan mang Tamim tanpa ampun. Sementara Khadijah yang sudah kelas 9 SMP dan Fatimah  yang kelas 5 SD, hanya bersalaman dengan mereka berdua.

Abu sedang membantu menata hidangan berbuka membantu Oyo.mengangkut piring dan bakul nasi, sementara Ama sedang membaca doa tahlil untuk mengirimi Al Fatihah bagi keluarga-keluarga yang sudah meninggal. Tradisi ini biasa di lakukan menjelang lebaran. Di rumah Abu, bisanya tradisi ini di laksanakan sehari sebelum lebaran. Artinya besok dia akan makan besar seperti hari ini, itupun jika Abah dan Ambu ada rezeki.

Hidangan berbuka sudah siap tersaji. Mang Jamal dan mang Tamim sudah selesai mandi dan bersiap menyantap hidangan.

Seperti hari-hari sebelumnya, Kentongan dan bedug magrib terasa lebih merdu dari suara beduk di waktu yang lain. Bahkan bunyi pertama dari suara itu, begitu di nanti oleh orang sekampung. Karena itu menjadi penanda waktu  berbuka.

Abu dan adik-adik begitu lahap memakan menu-menu yang tersaji. Makanan spesial ini jarang sekali mereka temui. Ada ayam sayur, balado telur, bakwan jagung, sambal, lalapan dan banyak menu yang lain.

Memang tradisi oyo dan Ama yang menurun kepada keluarga Abu adalah kebiasaan makan bersama. Susah senang makan bersama. Karena makan bersama lebih mengikatkan hati antara masing-masing anggota keluarga. Mereka tetap makan bersama meskipun lauknya hanya garam saja.

Ternyata ini juga adalah trik yang di adopsi Ambu dari ibunya, makan bersama bisa lebih mengirit anggaran. Karena menu apa yang bisa di masak siang hari, maka itu yang di makan. Menu apa yang di masak sore hari, maka itu juga yang dimakan. Rezeki Abah dan Ambu sepertinya memang di jatah Allah persekali makan, maka jika sudah waktunya makan, maka Ambu harus memastikan semua anak sudah kumpul. Telat saja beberapa menit, bisa jadi menu sudah habis. Jika menu habis, belum tentu sore hari ada makan lagi.

Seusai shalat magrib berjamaah di masjid,  Abu mendekati mang Jamal dan mang Tamim. Abu ingin bertanya sesuatu. Namun belum sempat Abu bertanya, justru mang Jamal dan mang Tamim lah yang menyecar abu dengan banyak pertanyaaan. Mereka ingin mengetahui pondok Abu seperti apa. Hampir abu tidak memiliki momen untuk bertanya.

"Mang, memang di Jakarta itu anak lulus SMA bisa kerja apa?"

"Banyak lah Bu, tergantung peluang yang mereka dapatkan, tergantung relasi mereka bekerja di mana, dan yang terpenting, tergantung nasib" jawab mang Tamim.

"Di Jakarta itu, sarjana yang jadi pengangguran juga banyak Bu, bahkan lulusan S3 jadi pemulung juga ada". Tambah Mang Jamal.

"Kalau anak yang lulus SMA rata-rata jadi Apa di sana mang?"

"Mereka yang datang ke Jakarta itu, biasanya di bawa oleh saudaranya, di janjikan pekerjaan. Seperti mang Jamal ini, dulu di ajak mang Tamim, ada lowongan jadi kurir di toko elektronik. Karena mang Jamal jago balapan, mamang di ajak sama mang Tamim, jadi kalau Abu tanya seluk beluk kota Jakarta, mang Jamal jagonya". Mang Jamal sambil menepuk dada, dan di tertawaan oleh abu dan mang Tamim.

"Kalau Abu ke Jakarta, bisa kerja apa kira-kira?".

Mang Jamal yang sedang menyeruput kopi seketika berhenti mendengarkan abu bertanya. Bahkan mang Tamim berhenti dari mengeluarkan barang-barang dari ranselnya.

"Jangan bilang Abu ingin pergi ke Jakarta". Mang Tamim menduga-duga.

"Kalau mang Jamal dengar cerita abu tadi tentang pesantren, itu jauh lebih nikmat dan layak untuk di perjuangkan. Tempatnya nyaman, lokasi dipegunungan, makanannya enak, tidurnya di kasur yang empuk, walaupun kata Abu tadi, tantangannya menghafal sulit, itu bagian dari perjuangan Bu,

Bandingkan dengan Jakarta, tempatnya panas, tidak ada gunung, setiap tahun langganan banjir, mending jika kita tinggal di tempat yang layak. Di Jakarta sana, orang-orang hidup di bawah kolong jembatan, rumah kardus, dan pemukiman kumuh. Jika dibanding dengan kehidupan kampung saja, jauh lebih baik di kampung, hanya saja, di kampung tidak banyak uang dan tidak banyak pekerjaan".

"Lagi pula, kenapa ada pikiran seperti itu?". Tanya mang Tamim tegas.

"Santai...santai...santai mang...Abu cuma sekedar bertanya, tidak ada maksud apa-apa?". Abu berusaha mencairkan suasana yang kini tengah menyudutkan dirinya. Kalau keroyokan seperti ini, Abu tidak akan mungkin bisa menjelaskan maksudnya dengan baik.

Madrasah Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang