0-Buku Bersinar Secerah Bulan

561 57 0
                                    

Jalan-jalan di hari Minggu sangat menyenangkan. Duri menyukainya setiap kali Kak Gempa mengajaknya ikut berbelanja ke pasar. Tapi, ada satu hal yang tidak disukainya. Kak Gempa selalu saja menyesakkan diri di tengah ramainya ibu-ibu pada pedagang kaki lima yang berjualan lauk-pauk di pinggir jalan. Katanya, di sini rasanya enak, gak ada lawannya. Tapi, 'kan bagi Duri semua sama saja. Malah lebih enak masakan Kak Gempa dibanding warung mana pun!

Duri bosan menunggu, duduk-duduk saja di pembatas jalan. Lirik-lirik terus, lama-lama matanya sakit. Kak Halilintar juga dari tadi belum kembali sejak pamit ingin membeli buku. Dan bisa-bisanya dia ditinggalkan Kak Taufan yang beralasan mau ke kamar mandi, memangnya di pinggir jalan ada kamar mandi? Duri 'kan masih kecil, kenapa ditinggalkan! Duri mendengus, kakinya yang ditekuk dia selonjorkan, pipinya menggembung. Setelah ini, Duri berniat mau ngambek saja!

Duri mengambil bola yang baru saja dibelikan Kak Taufan. Memeluknya dengan erat karena hanya bola itu saja temannya saat ini.

"Bola jangan tinggalin Duri, ya," ucap Duri. Bicara sendiri, sambil menatap bola karet berwarna hijaunya.

Meski begitu, Duri bakal tetap ngambek, kalau ketiga kakaknya belum balik juga. Sudah panas, ditinggalkan lagi!

Tiba-tiba, ada yang menghantam punggung Duri. Membuat terjungkal ke depan. Padahal di depannya ada lubang parit yang tidak tertutup, cukup dalam.

Duri benar-benar jatuh. Dan dia belum berhasil memproses hal itu dalam beberapa detik. Padahal tubuhnya sudah masuk ke dalam lubang, dan kepalanya yang lebih dulu menghantam semen yang ada di bawah.

Duri mendengar teriakan-teriakan panik itu. Dan akhirnya ketiga kakaknya kembali. Duri bisa mendengar suaranya. Tapi, rasa sakitnya mulai menjalar perlahan. Sedikit demi sedikit menyebar dan membuat air mata Duri keluar tidak tertahan. Tapi, Duri juga tidak sanggup mengeluarkan suaranya. Telinganya berdenging, matanya jadi kabur, dan dia merasakan tubuhnya mengencang.

Ada cahaya putih yang menyambutnya. Ada perempuan, eh--anak kecil? Seumuran dengannya? Tapi, ada seorang perempuan juga. Ah, Duri makin pusing. Lebih baik kegelapan saja yang menyebar perlahan-lahan.

=••=

Duri mengedipkan matanya beberapa kali. Tangannya terangkat, lantas mengucek-ngucek matanya. Dia beradaptasi pada pencahayaan. Meskipun masih menemui gelap, setidaknya yang ini tidak benar-benar berwarna hitam seperti mati lampu.

Duri menoleh ke samping, Kak Taufan sedang tertidur. Tidurnya lucu, karena terdengar suara kecil, membuat Duru terkikik pelan. Perut Duri yang ditindih tangan Taufan, jadi sakit. Padahal Duri 'kan kecil, Kak Taufan besar, kenapa tidak memeluk guling saja, daripada memeluk Duri. Jadi, Duri berniat mengalihkan tangan Kak Taufan. Pelan-pelan mengangkat tangan Kak Taufan dari perutnya. Bibirnya mengatup, dadanya berdetak kencang, Duri gugup! Takut membangunkan Kak Taufan, apalagi saat Kak Taufan tiba-tiba mendengkur lebih keras. Bikin Duri kaget saja.

Akhirnya, Duri berhasil melepaskan diri dari Kak Taufan. Dia bangun dari baringnya dengan perlahan. Duri mencoba mengingat, apa yang terjadi sampai Kak Taufan yang tidur di sini. Biasanya 'kan Kak Gempa yang menemaninya tidur. Duri menghela napas, putus asa. Duri sama sekali tidak ingat. Yang dia ingat, Taufan yang mencoba membuat dongeng untuknya. Padahal ada buku dongeng yang dibelikan Kak Gempa.

"Dongengnya Kak Taufan ga seru," bisik Duri. Sekedar melampiaskan kekesalannya mengingat cerita Kak Taufan tadi.

Angin tiba-tiba berhembus lebih kencang. Membuat bulu kuduk Duri berdiri karena kedinginan, rambutnya melambai-lambai. Duri menoleh pada jendela. Pantas saja, jendelanya terbuka. Bahkan dinding berwarna kuning keruh itu saja ikut melambai-lambai tertiup angin.

"Wah ...!" Mata Duri melebar, melihat bulan yang bersinar begitu terang. Begitu dekat, seolah jendela itu adalah bingkainya. Itu seakan menghipnotisnya. Untuk turun dari kasur. Untuk mendekat!

Tapi, perhatian Duri malah teralih. Angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Untung Duri memakai jaket. Eh, Duri sebenarnya lupa kenapa malah memakai jaket bukannya baju tidur.

Angin tadi membuat buku dongeng Kak Gempa terbuka. Setiap lembaran-lembaranya sebelum berhenti. Sepertinya telah di tengah-tengah.

Duri mengerjap-ngerjap. Menatap jendela dan buku itu, sepertinya Duri lebih tertarik untuk menghampiri buku tersebut. Ia berjinjit, mengambil langkah pelan, meniru strategi pencuri dari game yang dimainkannya. Sebentar-sebentar Duri melirik Kak Taufan. Yang sepertinya tidurnya mulai brutal. Tapi, Duri tidak mempedulikan itu, dia terus berjalan hingga sampai pada buku tersebut.

Duri melipat kedua kakinya, menjenguk isinya. Ada setitik cahaya muncul. Duri terkejut, matanya melebar. Apalagi ketika buku itu benar-benar mengeluarkan cahaya kuning, menyinari kamarnya!

"Apa-- apa yang terjadi ...?" Duri masih dalam keterkejutannya tapi sekaligus terpesona.

Saat cahaya itu menjadi dua garis naik ke atas dan saling mengitari satu sama lain hingga akhirnya bertabrakan dan memecah cahaya di langit-langit kamar. Kamarnya seiring cahaya-cahaya tersebut turun mulai berubah. Tak ada lagi lemari, kasur, boneka-bonekanya, mainannya. Semuanya berubah.

Duri berdiri, kakinya tergelitik, dia menapak di atas rerumputan. Ada pohon di mana-mana. Bukan berwarna hijau. Tapi, oranye! Jingga, semua dedaunan di sini berwarna oranye!

Duri tersenyum lebar. Meski dadanya berdetak tak karuan, tapi dia terpesona oleh keindahan pesona alam di sini.

Sampai akhirnya Duri menangkap buku besar, dalam posisi berdiri, menampilkan sebuah halaman bergambar. Duri tahu, itu buku dongeng milik Kak Gempa. Tapi bagaimana bisa buku itu menjadi sangat besar! Tingginya mencapai pohon-pohon, lebarnya tidak usah ditanya.

Duri jadi lebih bingung lagi. Siapa anak kecil dengan surai coklat yang menghadap pada buku tersebut?

=••=

848 kata.

Ehehehe. Cover ntar-ntar aja yekan.

Once Upon a Time [RiSol] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang