Angin yang berputar ganas terhenti seketika. Teriakan anak kecil yang Duri yakini adalah kakaknya—Taufan—sewaktu masih kecil perlahan memelan. Hingga hanya tersisa hening di ruang hampa ini. Tak ada lagi goncangan, angin ganas yang bagai hendak mencabik setiap inci tubuh, hanya ada kesunyian, ketegangan tadi berganti dengan rasa tenang. Ah, Duri ingat rasa ini, rasa tenang ketoka berada dekat dengan kakaknya si penyuka biru itu.
"Duri, Duri!"
Duri tersentak. Perlahan membuka matanya yang terpejam erat sedari tadi. Dia sudah menahan rasa takutnya dan saat membuka matanya yang pertama dilihatnya adalah Solar, dengan cepat air mata tak tertahankan meluncur deras tanpa perlu diperintah lagi. Duri segera menghambur peluk kepada Solar, menyembunyikan wajahnya di bahu Solar. Sesenggukan di sana sembari bergumam pelan.
"Tidak apa-apa Duri, kau berhasil. Kau sudah berhasil. Semuanya akan baik-baik saja," ujar Solar. Berusaha menenangkan si anak penyuka hijau.
Duri melepaskan pelukan Solar. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang makin lama makin bercabang dalam benaknya. Tapi, Duri berusaha singkirkan itu semua karena melihat Solar ada di depannya lagi saja sudah berhasil membuat Duri bernapas lega. Duri tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Solar tidak kembali. Mungkin, Duri beneran akan mati, entah oleh sebab kakaknya Taufan, atau si makhluk hitam pembawa sabit yang mengaku adalah Halilintar. Yang manapun itu, Duri tentu saja tetap mau hidup dan kembali bersama tiga kakaknya lagi.
"Lihat itu." Solar berujar lagi, kepalanya tertoleh, jarinya menunjuk ke arah dua orang yang tengah berpelukan erat.
Duri tertegun.
"Kak Taufan ... dan Kak Taufan?" Duri memiringkan kepalanya, melihat pemandangan yang sepertinya tak 'kan biasa untuk dilihat.
"Yah, aku menyeret Taufan yang itu ke sini, untuk menemuinya," jawab Solar. Yang hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan dari Duri.
Di depannya, ada Taufan besar—kakaknya yang asli—tengah memeluk Taufan kecil yang terdiam dan sepertinya tidak sadar sudah banjir air mata. Entah apa yang dikatakan kakaknya yang asli itu pada dirinya yang kecil. Duri tidak bisa mendengarnya. Tapi, pelukan Kak Taufan itu memang senyaman itu dan membuat siapapun yang merasakannya akan menjadi tenang seketika.
"Jadi, Solar. Kau pergi untuk menjemput Kakakku?"
Solar mengangguk pelan. Masih memperhatikan mereka yang tengah berpelukan. "Kupikir, Kakakmu itu sering sekali menghindari inner child-nya. Entah apa alasannya. Aku mencoba bernegosiasi ...." Solar melirik pada Duri sebentar. Sebelum, mengalihkan pandangannya lagi. "Sebaiknya kita pergi cepat."
"Eh, tapi. Bagaimana dengan makhluk itu!"
Duri menunjuk si makhluk hitam. Yang pelan-pelan memudar. Terpecah menjadi partikel kecil yang tertiup angin. Duri jadi sedikit sedih, meskipun makhluk itu selalu mau membunuhnya, tapi setidaknya berkat makhluk itu juga mereka bisa sampai sini.
"Biarkan kakakmu yang mengurusnya. Kau tidak boleh terlihat olehnya."
"Eh, kenapa?" Duri jadi sedikit kecewa. Baru saja mau menyapa kakaknya itu.
Solar menggeleng pelan. "Kau masih harus membantu yang lain. Kalau ketahuan, kau hanya akan kembali ke mimpi asalmu."
Duri tidak mengerti. Rasanya tiap kata yang dilontar oleh Solar adalah bahasa asing yang tidak dipahami Duri. Solar yang mengetahui hal itu, lantas segera saja menarik tangan Duri, menjauh dari adegan mengharukan yang ada di sana. Duri sempat memberontak dan bilang ingin bertemu sebentar, tapi tentu saja Solar tolak. Mana mau dia membiarkan teman seperjalanannya membuat dirinya menghilang begitu saja? Gini-gini Solar masih setidaknya peduli dengan Duri.
![](https://img.wattpad.com/cover/322996852-288-k133153.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon a Time [RiSol]
FanfictionDuri tiba-tiba saja tidurnya terganggu di tengah malam. Saat itu, Duri menyadari, kamarnya yang biasa gelap di malam hari menjadi sedikit lebih terang. Mungkin karena cahaya bulannya, atau mungkin karena buku dongeng Kak Gempa bersinar terang. Eh...