9-Boneka Kayu

78 15 0
                                    

"Semangat! Jangan menyerah, larilah! Di mana Solar yang pembangkang itu pergi?! Kenapa kau berhenti di tengah jalan! Cepat, bangun! Selesaikan dongeng cacat ini sebelum dunianya benar-benar runtuh! Pergilah!"

"Kembaran, sialan."

Solar mengukir senyum miring. Dia sangat memahaminya sekarang, jika Solar menyerah di sini, maka dunia ini akan hancur karenanya.

=••=


Solar menutup mulutnya, agar dia tidak kelepasan bernapas keras. Pria Tua itu berhenti di pintu goa. Membawa sebuah obor, menyinari kanan dan kiri dengan jeda beberapa detik. Sebelum akhirnya berjalan keluar dari goa. Solar menunggu beberapa saat sebelum dia keluar dari persembunyian di balik stalaktit yang menjulur hingga ke bawah dan membesar. Solar berjalan kesulitan karena kakinya sudah terlampau nyeri. Dia membawa tubuhnya ke arah berlawanan dari pria itu. Bersembunyi di balik pepohonan, menghindari cahaya api di mana pun dia dapat melihatnya.

"Baiklah, sekarang waktunya mencari Duri."

Solar meneguk ludahnya kasar. Rasanya seperti meneguk kerikil kecil. Tangannya berpegangan pada pohon. Dengan gemetar, tubuhnya merosot ke tanah tanpa persetujuan dari si empu. Solar menutup matanya, kepayahan menarik napas.

"Istirahat sebentar, mungkin tidak masalah ...."

Dari ufuk timur, Solar menangkap cahaya. Kedua bibirnya tertarik, tersenyum kecil menyambut terbitnya mentari. Air mata yang sedari tadi tertahan, akhirnya terlepas juga. Meskipun lagi-lagi tanpa persetujuan si tuan pemilik badan. Solar menarik napasnya berat

"Meski begitu, aku tidak akan diuntungkan sama sekali jika tidak menjauh dari goa ini."

Beberapa saat mengistirahatkan diri, Solar memaksa seluruh persendiannya untuk bergerak. Dia berjalan perlahan, bertumpu pada tiap batang pohon. Berkali-kali napasnya terus tertahan. Mengais oksigen tiba-tiba adalah kegiatan yang begitu melelahkan.

Solar tidak yakin, apa memang karena dia memaksa tubuhnya terlalu keras hingga badannya hampir mati rasa seperti ini. Layar transparan imaji muncul di hadapannya, menuliskan seluruh kemungkinan yang ada.

Kepala Solar tertunduk, dia mendesah lemah. Apa pun itu, ya g paling masuk akal adalah, dia kelelahan karena dipukuli habis-habisan, setelah itu memaksa dirinya untuk berlari cepat.

Langkah Solar terhenti. Dia menemukan sepasang kaki tanpa alas, berdiri beberapa meter di depannya. Perlahan kepala Solar bergerak, menatap ke hadapan. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka hendak meneriakkan nama si empu yang dipikirkannya sedari dia berada di penjara itu. Matanya memanas seperti digoreng, tapi ditahan sekuat mungkin, agar tidak ada air yang lolos dari tebing mata. Kakinya seketika kaku, ketika dia memerintahkan untuk berjalan menuju orang di depannya itu.

Sedangkan orang di depannya, sudah banjir air mata. Isakan tertahan itu membuat tubuhnya gemetar Hebat, bahunya berguncang-guncang. Dia juga berusaha memanggil nama Solar. Namun, kakinya lebih dulu melangkah. Berlari menerjang Solar. Memeluknya erat dan melepaskan tangisan di bahu Solar.

"Solar ... kupikir kau mati ...!" suara Duri begitu serak.

Wajahnya berantakan, penuh dengan air mata dan ingus. Ditambah lebam, darah kering, dan beberapa tanah yang menempeli wajahnya. Jika saja, Solar berada dalam kondisi terbaiknya, mungkin Solar sudah memgatai Duri yang mirip gembel. Bukan karena wajahnya saja yang berantakan, tapi jubahnya yang compang-camping, dan hampir setengah badannya ditelan kotoran lumpur. Tapi, Solar juga merasa dirinya tak ada bedanya. Tangan Solar yang terasa kaku dan berat itu, dia paksakan untuk bergerak membalas pelukan Duri.

Once Upon a Time [RiSol] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang