9. Isotonic & milk

101 11 13
                                    

Seokjin tersentak. Duduk di tempat tidurnya dengan keringat dingin membanjir.

Dirapatkannya selimut ke dadanya berusaha mengusir rasa dingin yang menyengat.

Ia lupa menutup jendela di kamarnya. Tapi bukan rasa dingin yang membangunkannya, melainkan mimpi buruk.

Handphonenya menyala. Bukan alarm. Melainkan ringtone.

Seokjin mendecih, siapa sih yang iseng menelepon jam 5 pagi? Alih-alih melihat si penelepon, jumlah notifikasi membuatnya kaget sampai terbatuk-batuk.

159 chat dan 27 missed call.

Namjoon pasti mabuk semalam.

Seokjin bangkit dari tempat tidur, berjengit di lantai yang dingin. Ia menjerit, menjerit dan menjerit lagi. Makin lama makin keras. Dihantak-hentakkannya kakinya.

Tapi rasa kesal tidak menghilang. Diluar kebiasaannya, ia langsung berganti dengan pakaian olahraga dan berlari keluar.

Jogging tidak tentu arah. Berbelok di setiap belokan. Menyeberang apabila lampu lalu lintas berwarna hijau. Sampai akhirnya ia berhenti di sebuah taman yang belum pernah ia sambangi sebelumnya.

Duduk di bawah pohon, kehabisan napas, juga kehausan.

Diceknya ponselnya, dia masih punya waktu dua jam sampai ia harus kembali ke apartemennya, mandi lalu pergi ke kantor.

Tapi belum pernah ia merasa semalas ini. Ia tidak mau bertemu Namjoon. Ia tahu Namjoon akan mengambil semua kesempatan untuk bisa dekat-dekat dengan dirinya.

Dulu hal itu terasa menyenangkan. Adrenalin berpacu bersama endorphin. Menimbulkan kepuasan memuncak dalam ketegangan takut ketahuan.

Tapi sekarang, cuma ada keputusasaan karena kata putus yang sudah menggantung di ujung lidah tapi tidak bisa diucapkan.

Telepon Seokjin berbunyi lagi. Ia mengerang. Menunduk mengubur kepalanya dalam di antara kedua lututnya.

"Kok nggak diangkat kak?"

"HUAH?" Seokjin terlonjak kaget. Melotot kearah Seoho yang berdiri di sebelahnya sambil nyengir lebar.

"Itu teleponnya nggak diangkat? Siapa tau penting."

"Oh? Nggak! Nggak penting!!" Seokjin langsung duduk tegak.

"Bukan pak Namjoon?"

"Bu-bukan!!!"

"Baguslah, artinya Pak Namjoon udah nggak pernah ngehubungin Kak Seokjin lagi ya? Pantesan kak Seokjin nggak pernah hubungin aku juga."

Seoho duduk di tanah di sebelah seokjin, bahu mereka nyaris menempel. Seokjin diam-diam meneliti semua lekuk tubuhnya dengan kerlingan.

Tidak semenarik waktu mereka ke night club bersama, tapi juga tidak sekucel waktu ke kantor. Wajah Seoho yang biasanya pucat kini merona segar sehabis olahraga.

Baju olahraga tanpa lengan dan celana pendek memamerkan tangan dan kaki yang begitu jelas dilatih dengan teratur.

"Lu nggak kedinginan pake baju begitu?"

"Hm? Lumayan sih kalau sekarang." Seoho terkikik, menggosok lengan atasnya. "Tapi tadi pas lagi lari ya nggak. Kepanasan malah."

"Lu suka olahraga ya?" Mata Seokjin menelusuri tangan Seoho. Gurat-gurat otot terlihat membayang. Semakin jelas karena lapisan tipis keringat yang membuatnya berkilau. Tanpa sadar Seokjin menjilat bibirnya.

"Suka banget. Hehe. Aku jogging tiap pagi. Seminggu 2 sampai 3 kali nge-gym. Kalau ada teman ngajak aku juga main sepakbola dan basket."

"Oh." Seokjin membuang pandang. "Gue nggak suka olahraga. Gue juga sebenarnya benci bangun pagi."

Bento Days [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang