Setiap manusia selalu diberikan harapan untuk selalu percaya akan adanya kebahagiaan esok hari.
—ANANTA—
Dua hari setelah kepergian Ibu. Rumah semakin terasa dingin. Tak ada orang yang mampu mencairkan suasana tersebut. Bahkan Lintang sekali pun tidak mampu untuk mengubah rumah itu untuk kembali hangat seperti dulu.Lintang semakin banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, ia melampiaskan rasa sedih dan kecewanya dengan cara seperti itu.
Berbeda dengan Lintang, Ananta menjadi salah satu orang yang paling terpukul ketika ditinggal Ibunya. Ia semakin sering melamun dalam kesendirian. Ia juga menyesal karena Ibunya pergi dengan tiba-tiba tanpa tahu bahwa Ananta masih butuh dekapannya.
"Kenapa kamu gak bilang kalo kemarin sempat terjatuh dari motor?" tanya Satria mendekati adiknya yang masih terduduk sendiri dengan sarapan yang belum tersentuh.
"Nan?"
"Ananta kangen sama Ibu ..." kata Ananta membuat Satria menghela nafas. Ia tarik satu kursi dan duduk di dekat adiknya.
"Mas anterin kamu ke kampus, ya!"
Ananta menoleh saat Satria berkata demikian.
Ia jadi teringat ketika dirinya terjatuh dari motor karena Ananta tidak fokus menyetir saat kepalanya kesakitan.
***
"Mas?"
Ananta mengerutkan kening ketika ia menghampiri Lintang yang sudah rebahan santai sambil menonton tv. Gelas berisi teh hangat kini Ananta simpan di atas meja.
"Kenapa Mas berhenti kerja? Kan Mas udah dapet posisi yang bagus di perusahaan itu." tuturnya ketika ucapan Satria terbukti benar siang hari ini.
Perlahan Lintang memperbaiki posisinya. Ia duduk lantas membalas sorot mata adiknya dengan dalam seraya berpesan, "jangan sakit lagi, Dek. Kamu harus sembuh, ya!"
Lintang masih diselimuti rasa kehilangan. Ia rindu juga dengan Ibu, ia sangat rindu suasana hangat rumah ini seperti dulu.
"Aamiin ..."
***
Sementara di rumah sakit, Fadhil masih setia menemani Ayah walaupun ia tidak diajak berbicara. Ayah sudah banyak melamun, ia sering mengaduh sakit dan tak jarang berujung tangis.
"Ayah perlu apa? Biar Fadhil ambilkan ..." tawar Fadhil yang malah tangannya diraih oleh Ayah.
Sorot mata lemah itu memandang Fadhil penuh harap. Tangan si Sulung terus saja dipegangi tanpa mau dilepaskan.
"Makasih udah bantu Ayah sampai sini ..." lirih Ayah masih jelas Fadhil mendengarnya.
"Ayah kenapa? Kan itu memang tugasnya Fadhil ..."
"Kamu anak yang kuat buat jadi pelindung mereka. Jaga adik-adik kamu ..." tutur Ayah yang menghujam perasaan Fadhil.
Si sulung terdiam beberapa detik ketika Ayah serasa tiba-tiba berucap demikian. Degup jantungnya kian berlacu lebih cepat. Perasaannya sudah kalut dan pikirannya yang tenang kini kembali berantakan. Ia menepis semua pikiran buruknya sore hari ini.
"Ayah ... Perlu Fadhil panggilkan dokter?"
Ayah menggelengkan kepala seraya mengulaskan sebuah senyuman, beliau juga bertutur dengan tulus, "terima kasih, Nak ..."
"Ayah juga sayang sama Tanjung ..." bisiknya langsung membuat Fadhil memalingkan wajah. Ia mengulum kedua bibirnya saat air mata itu merembes turun dan rasa sesak pada dadanya kian menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANANTA [END]
FanfictionSebuah kilas balik ketika Ananta masih bisa tersenyum bukan karena terpaksa. Dan merupakan sebuah kilas balik ketika Ananta pertama kali diperkenalkan pada perihnya kesakitan. "Nan, mana senyumannya?" -Satria Abizar Mahardika. "Aaaaa ... gak mau Bu...