8. Ternyata Putra...

10 1 0
                                    

Putra masih saja terbaring diranjang rumah sakit, enggan membuka mata dan bergerak. Padahal dokter mengatakan Putra hanya tertidur. Meski memang demamnya naik turun terus menerus. Bunda terus duduk disamping Putra menatap Putra semata wayangnya yang ia kasihi. Tangan Bunda terus menggenggam erat tangan Putra. Tak lama Aldy menghampiri keduanya.

"Kak Aya pulang dulu aja. Putra biar Adi yang jagain. " Begitu sapa Aldy pada Bunda. Keduanya sangat dekat satu sama lain. Terlebih, keduanya sudah tidak memiliki orang tua. Maka dari itu hubungan Bunda dan Aldy amat sangat erat.

"Gak papa Dy. Kakak mau temenin Putra sampe dia bener-bener baik-baik aja." Jawab Bunda lemas.

"Kak Aya semalam baru dateng dari Jakarta. Pasti capek banget. Atau seenggaknya kak Aya tiduran dikursi. Nanti kalau Putra bangun Adi bangunin. " Pinta Aldy seraya mengelus lembut punggung Bunda.

"Dy, kakak hancur dy... Gak pernah terfikirkan Putra menahan semuanya sendirian selama ini. Kak Aya harus melakukan sesuatu Dy. " Kata Bunda pilu, dengan suara bergetar dan lemah. Pak Aldy mengangguk seraya terus mengelus lembut punggung kakaknya. Tak lama setelah itu ada dua orang yang berperawakan tinggi besar masuk setelah 2 ketukan pintu. Bunda berdiri seketika, seolah bisa memperkirakan siapa mereka.

"Selamat siang, kami dari kepolisian Jakarta Barat. Betul ini dengan ruangan Ahessa Putra Wardana? " Tanya salah seorang dari kedua pria itu. Dengan ragu bunda menatap Aldy yang kini berada disebelahnya. Aldy mengangguk pelan, seolah mendorong Bunda untuk tetap menjawab dengan tenang.

"Betul. Ada yang bisa saya bantu? " Tanya bunda ragu.

"Ini surat tugas kami. Saudara Ahessa diharapkan bisa ikut bersama kami untuk memberikan keterangan. Kami sudah melakukan beberapa kali pemanggilan tapi belum ada tanggapan baik dari Sodara Ahessa, terkait kasus kekerasan seksual. Sodara Putra menjadi salah seorang saksi yang harus segera kami periksa. " Jelas salah satu dari mereka.

"Kondisi Putra sedang tidak memungkinkan untuk pergi ke Jakarta sekarang, Pak. Bisa beri kami waktu sampai besok? " Tanya Aldy berharap ada sedikit keringanan.

Mereka saling tatap satu sama lain.

"Baik. Dengan catatan kami minta surat keterangan dokter kalau sodara Ahessa sedang tidak bisa melakukan pemeriksaan di kepolisian. Kami tunggu sampai besok. Jika sodara Ahessa masih tidak bisa bekerja sama terpaksa kami jemput paksa." Jelasnya. Bunda dan pak Aldy mengangguk nyaris bersamaan.

"Sebentar, saya siapkan dulu surat pernyataannya, pak. " Kata Bunda.

"Biar Adi aja, kak! " Pinta Aldy. Namun Bunda lagi-lagi menolak. Seolah ia ingin melakukan  segalanya untuk menyelamatkan Putra meskipun hanya satu hari. Bunda berlalu, bersama kedua polisi yang ikut bersamanya dibelakang.

Aldy lagi-lagi menghela nafas. Diliriknya Putra yang ternyata sudah membuka matanya, dengan tatapan kosong ia menatap langit.

"Put, kamu gak papa? " Pak Aldy segera duduk disamping ranjang Putra. Putrapun duduk menatap pak Aldy dengan sendu. Tak berselang lama air matanya berjatuhan. Tanpa menanyakan mengapa Aldy bergegas memeluk erat Putra. Lama Putra menangis didalam pelukan pak Aldy sampai isaknya tiba-tiba terhenti. Setelah Aldy merasa Putra sedikit tenang. Ia melepas pelukan sangat keponakan dan kembali menatap Putra.

"Waktu itu, Putra mau nonton sama Stevie, om. Tapi putra pergi dulu karena Bunda jatuh dikantor. Putra pergi ke IGD susul Bunda. Putra baru balik kesekolah jam 4 lebih. Padahal Putra janjian sama Stevie jam 4. Kalau aja, kalau aja Putra gak ngajak Stevie nonton. Enggak... Kalau aja, kalau aja Putra balik dari IGD lebih cepet... Mungkin Stevie gak akan begini. " Jelas Putra sambil terbata-bata, sembari air mata terus merembes dari sudut matanya. "Waktu itu, Stevie ikutin Dimas yang selalu di bully Boy dan gengnya. " Putra kembali merunduk. "Waktu itu, Stevie masih bisa dihubungi. Dia masih minta aku ngikutin dia, dia masih ngasih tau kemana jalan yang harus aku ambil buat ngikutin dia. Tapi... " Putra kembali terisak. "Dia gak bisa dihubungin setelah setengah jam aku muter-muter. Aku cari kesemua tempat om, kesemua jalan... Dan bodohnya aku baru ingat, kalau disekitar situ ada gudang penyimpanan perusahaan air mineral punya Tristan. " Tangis Putra kembali pecah. Aldy memeluk kembali keponakan malangnya itu. "Om tau apa yang pertama kali aku liat? " Bisiknya. "Stevie tengah dikerubungi para bajingan itu dengan baju compang camping dan... " Aldy tak kuasa menahan tangisnya. Ia turut terisak mendengar betapa teragis apa yang Stevie alami, betapa menakutkan apa yang Putra lihat, betapa serba salah keponakannya selama ini. Putra kembali melepas dekapan pamannya.

MASA SEKOLAH (Jati Diri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang