Prolog

127 3 1
                                    

Di ruang kepala sekolah SMA Internasional terkemuka di Jakarta. 6 orang siswa tertunduk lesu menunggu keputusan final dari pak Wardi Henderson, kepala sekolah yang dinilai idealis bagi seantero sekolah. Terdapat 6 wali murid pula yang hadir disana, yang juga berusaha membela anak-anaknya.

"Putra, sedikitpun saya tidak pernah menyangka, bahwa kamu bisa melakukan hal seperti ini. " Sembari melihat video di hpnya dan menyimpannya di atas meja. Seolah, ingin memperlihatkan bukti kepada Soraya lestari, ibu kandung putra yang tengah meremas jemarinya sendiri. Berusaha logis dan tenang. "Silahkan ibu lihat sendiri! " Soraya berusaha tidak gemetar, mengambil handphone yang sedari tadi ada dihadapannya. Putra tidak berkata apapun, ia semakin tertunduk tak berdaya. Tak lama setelah itu, Soraya meletakan kembali handphone milik pak Wardi.

"Dengan terpaksa saya harus... " Ucap pak Wardi terpotong.

"Saya mohon untuk memberikan Putra surat pindah... " Ucap Soraya segera. Semua orang tercengang menatap jijik penegasan dari seorang ibu yang mereka anggap bersalah.

"Gak bisa gitu dong bu! Anak saya betul-betul dirugikan kalau begitu! " Seru Ibu dari Stevie, yang telah berulang-ulang sejak tadi mengatakan bahwa Stevie tidak bisa masuk kesekolah lagi karena terus menerus meraung-raung, mengurung diri dikamar dan tidak bisa di ajak bicara. "Anak saya depresi! Dia trauma! DAN ITU KARENA ANAK ANDA, BU! " teriaknya memecah keheningan.

Putra memejamkan mata, disampingnya Dimas, yang putra sebut sahabat pun memejamkan mata, gemetar, mencengkram kedua lututnya kuat-kuat. Dimas tahu betul apa yang terjadi malam itu. Hanya 4 orang kawannyalah yang tampak tenang dan berani menatap kearah mamanya Stevie.

Tak menggubris teriakan mama Stevie. Soraya berdiri.

"Kalau begitu saya mau bawa kasus ini keranah hukum! " Tegasnya.

Kepala sekolah tampak panik, orang tua ke 4 anak yang tampak santai diawal terlihat tidak nyaman. Soraya yakin ada yang tidak beres dalam kasus ini. Dia mengenal Putra amat baik. Putra tidak akan pernah diam, dia pasti akan meminta maaf dan menjelaskan segalanya jika ia memang bersalah. Sekecil apapun masalah itu, apalagi masalah besar seperti saat ini.

"Anda begitu yakin anak anda tidak bersalah? Kami punya bukti! " Teriak pak Yohanes brahmana ayah dari ketua geng 4 anak itu. Boy brahmana, yang ikut tersenyum sinis ketika ayahnya ikut berdiri dan berteriak.

"Video yang berdurasi 1,5 menit anda anggap itu bukti? Kemana potongan video lainnya? Kenapa hanya ada video anak saya memukul anak bapak dan memeluk Stevie? Anak saya juga babak belur, juga Dimas... Dimana video mereka? Mana awal pertemuan mereka? Mana mungkin video cctv hanya memperlihatkan potongan video saja.... Kemana video lain? " Soraya mendekati pak Yohanes yang dikenal sebagai donatur terbesar disekolah, yang juga pemilik salah satu firma hukum yang terkemuka di Jakarta.

"Anda fikir anda akan menang jika melawan saya? " Sanggahnya.

"Saya mau mereka semua di visum! Panggil wartawan, biar seluruh Indonesia tau bahwa ketidakadilan tengah menimpa Putra saya!!! " Teriak Soraya. Putra berdiri menarik lengan ibunya lembut, seolah ingin menyudahi argumen yang dibuat ibunya.

Pak Yohanes tertawa nyaring, menertawakan pemikiran sepihak Soraya.

Brakkkkk

Pak Wardi memukul meja. Mencoba menghentikan pertikaian yang mulai muncul diantara mereka.

"Saya harap kita bisa menyelesaikan semua ini secara kekeluargaan. Bapak, ibu. " Pintanya. Namun disisi lain ibu Stevie menutup wajahnya dan menangis.

"Anak saya paling dirugikan di sini! Masa depannya terancam... Dia anak yang pintar, anak yang baik!!! " Raung ibu Stevie. Tentu saja, seantero sekolah tau siapa Stevie. Anak pintar yang masuk lewat jalur beasiswa, pemenang Olimpiade Matematika dunia, anak yang mengharumkan nama sekolah lewat prestasinya. Tiba-tiba harus bernasib nahas. "Sekarang, bahkan untuk berbicara dan menatap saya saja dia gak mampu... " Tambahnya.

Tampak Soraya memejamkan mata sejenak, berduka untuk Stevie, merasakan pedih yang juga dirasa oleh ibunya Stevie. Tapi, Soraya pun harus memperjuangkan Putra, anak semata wayangnya yang juga harus tetap bersekolah.

"Bapak lihat disini, 3 anak beasiswa yang baik-baik saja, tidak bermasalah tiba-tiba terkena masalah berat dan melibatkan 4 siswa yang background keluarganya luar biasa. Stevie, Putra dan Dimas bukan siapa-siapa... Anak-anak kami hanya anak-anak beasiswa... Menurut bapak apakah ini masuk akal? Maka dari itu saya yakin, saya harus membawa kasus ini ke jalur hukum. " Geretak Soraya tanpa menggubris isak tangis ibunya Stevie. Ayah Dimas hanya mengangguk, tak berdaya ia ketika di hadapkan dengan orang-orang berdasi didepannya.

"Dimas saksinya kok pah, kita gak ngapa-ngapain." Celetuk Darwin, sobat dekat Boy. "Ya, gak dim? " Ulangnya.

Dimas tak berani menatap siapapun, ia hanya tertunduk.

"Jawab lo dim! Masa sama kita-kita lo gitu! Kitakan temen deket. " Pinta Harry salah satu dari 4 orang itu.

Dimas menatap ragu Putra, Putra menangguk. Merasakan ada yang aneh dari putranya, Soraya segera menghampiri kepala sekolah.

"Saya hanya memberikan bapak pilihan. Saya akan anggap ini selesai, asal bapak beri Putra surat pindah dari sekolah biadab ini! Saya akan bersihkan nama putra saya setelah semua urusan saya selesai." Pinta Soraya.

Sementara suasana kantor ricuh, ke empat orang tua dari empat anak Bermasalah itu pun tiba-tiba setuju dengan pinta Soraya. Meski ibu Stevie meraung-raung dengan suara seraknya yang tak didengar.

"Cukup!!!" Teriak pak Wardi. "Saya tahu masalah ini bukan masalah yang mudah... Tapi, dengan berat hati saya juga harus menjaga nama baik sekolah. Saya akan bertanggung jawab penuh untuk menyelidiki kembali kasus ini. Jadi ibu Stevie, saya mohon anda tenang! " Suara pak Wardi melemah. "Saya juga, harus mau menerima keadaan ini, meski saya tidak percaya kalau Putra, si ketua OSIS yang sangat baik bisa seperti ini.... Tolong beri saya waktu untuk memikirkan cara terbaik untuk kita semua. " Jelasnya.

"Dimas bisa jelasin ko pak, kalau kejadian waktu itu benar adanya. Saya di pukuli Putra sampai babak belur dan tangan saya patah! Dan Stevie, Dimas liat semuanya ko..." Celetuk Boy, yang ngotot seolah ingin melenyapkan Putra dari sekolah. "Jelasin dong, dim! Jangan bikin orang salah paham sama gue... " Pinta Boy. "Dim? "

Kini semua tertuju pada Dimas. Dimas meremas-remas jemarinya, air matanya terjatuh, kakinya tampak gemetar. Sesaat kemudian Tristan, satu dari empat anak itu merangkul Dimas.

"Iya, kan Dim? " Tanya ia. Dengan kepala yang terasa berat Dimas mengangguk.

Wali murid dari keempat anak kitu tertawa, seolah memenangkan pertandingan sepak bola di lapangan.

"Emang beda, ya... Anak beasiswa sama anak berada yang full donasi! " Celetuk ayah Tristan.

"Kasih aja pak surat pindah itu! Jangan sampe dia gak sekolah lagi! " Pinta papa Boy. "Asal dia pergi dari sekolah kita. Jangan sampai anak-anak kita bergaul lagi dengan anak-anak berandal itu. "

---------- to be continued-----

MASA SEKOLAH (Jati Diri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang