"Ayah??"
Bara mengernyit tatkala melihat hanya ada Ayahnya yang duduk dimeja makan untuk makan malam bersama.
Bara baru saja tiba setengah jam yang lalu. Setelah sampai rumah ia langsung masuk kamar dan membersihkan diri karena ia sadar sudah terlalu telat untuknya pulang bahkan ia baru sampai rumah ketika jam makan malam hampir mulai.
"Kok adek pulangnya telat banget? Tugas kelompok nya susah banget ya." Tanya Ayah diakhiri dengan senyum yang membuat kedua pipinya tercetak dua lesung yang dulu suka Bara mainkan dengan jari telunjuk kecilnya.
"Emm.. itu, Bara ketiduran dirumah temen.. harusnya udah pulang lebih awal."
Hening, Bima tak menanggapi pengakuan anak bungsunya. Ia sibuk menyusun dan menyiapkan makan malam untuk kedua putranya.
"A-ayah..." Panggil Bara pelan.
Bima menoleh sejenak, "Ayah nggak marah kalo itu yang adek pikirin." Ujarnya kemudian.
"Adek minta maaf, janji nggak akan ulangin lagi."
Bima berjalan kearah anaknya yang kini menundukan kepala.
"Ayah yang harusnya minta maaf ke adek.., maaf ya," ditangkupnya wajah anak bungsunya yang kini menatapnya lugu"Tadi Ayah nggak sempet jemput adek.. tadi kakak tiba tiba sakit, badannya panas."
Bara sedikit terkejut terlihat jelas dari raut wajahnya, "kakak?"
Bima mengangguk, "iya, tadi kakak muntah muntah.. terus tidur sambil manggilin adek.. kayaknya kakak kangen berat sama kamu."
"Nanti selesai makan, adek tengok ya.. kasihan kakaknya rindu berat." Bara menganggukan kepalanya patuh.
Jauh didalam hatinya pun ia merasa cemas, khawatir dengan keadaan kakaknya.
Seperti janjinya tadi, kini Bara melangkah dengan amat sangat perlahan hampir tak bersuara.
Menutup pelan pintu kamar, Bara mendekati ranjang yang diatasnya ditiduri kakak pertamanya. Betul kata ayah, suhu badan Bian terasa panas di telapak tangannya yang dingin.
"Sakit terus nggak capek apa?" Bara bertanya dengan nada ketus. Meski tahu jika tak akan dijawab pertanyaan nya karena melihat mata indah yang tertutup rapat Bara simpulkan jika saat ini kakaknya ini tengah berkelana di alam mimpi.
Lihat, bahkan ketika dengan sengaja jari telunjuknya menusuk pipi tirus itu, Bian tak terusik sama sekali. Bara yakin pasti disana Bian tengah mengejar belalang coklat seperti hobinya.
"Sakit apa caper sih? Belom puas apa di perhatiin Ayah terus."
"Sakit adek.. kakak sakit."
Tubuhnya hampir saja terjengkang kebelakang kalo saja tangannya tidak cepat ditahan oleh telapak yang lebih kecil darinya.
"E-enggak tidur?" Tanyanya terbata.
Bian tersenyum dengan mata terpejam. "Nih tidur.. hum merem kan? Tidur.."
"Bohong!! Dikira bagus apa bohong."
"Uhukk.. uhukk." Bukannya menjawab pertanyaan Bara, Bian malah terbatuk pelan. "Aus dek, minum." Katanya manja.
Bara mendengus, "idih.. lebay banget." Cibirnya. Meski begitu tangannya tetap meraih gelas dan menyodorkannya kehadapan sang kakak. Tak lupa ia membantu agar Bian dapat dengan mudah meminum air untuk membasahi tenggorokan yang tadi katanya kemarau.
"Makasih adik kecil." Usai mengatakan itu kedua mata indah milik Bian kembali terpejam rapat. Mengabaikan keberadaan Bara yang diam diam menatapnya dengan tenang.