Typo berhamburan.. 🙃
Bima tertegun ketika netranya menangkap sosok Bian yang saat ini tengah tertidur dikursi tunggu sambil memeluk tas punggung dengan kepala menunduk terkulai kesamping. Dengan diam Bima mendekat membawa kaki jenjangnya mendekati posisi Bian yang masih terlelap tanpa sedikitpun terusik.
Saat ini waktu menunjukan pukul 5 pagi. Lorong dibelakangnya tampak gelap dan sepi, bahkan Bima tidak tahu sudah sejak kapan anak sulungnya berada luar kamar rawat putra bungsunya yang saat ini pun masih terlelap didalam ruangan sana. Apa iya Bian datang setelah pulang sekolah? Mengingat saat ini anak itu masih lengkap mengenakan seragam sekolahnya. Tapi kenapa tidak masuk?
Bima menghela nafas, sedih ketika mengingat sejak pagi tadi ia terus mengabaikan pangilan dari anaknya. Puluhan pesan dan panggilan itu sengaja Bima abaikan hanya karena egonya terlalu tinggi.
Tiba tiba saja hatinya terasa nyeri Ketika dengan perlahan telapak tangan Bima menyentuh sisi wajah Bian, dingin dari kulit anak sulungnya membuat nafas Bima tercekat.
"Sabian.."
Bima mencoba membangunkan anaknya namun sepertinya Bian terlalu lelah hanya untuk sekedar membuka mata. Jadi dengan perlahan dan hati hati Bima mengangkat tubuh yang baru ia sadari lebih ringan dari terakhir kali Bima mengendong nya.
"Kakak jangan telat makan dong.. Kenapa jadi ringan gini,hem?" Tak ada jawaban, bibir Bian yang sedikit terbuka mengeluarkan suara gumaman pelan lalu setelahnya tak ada lagi suara kecuali hembusan nafas yang terdengar berat.
"Abi nggak telat makan, 'kan? Obatnya diminum teratur, 'kan?" Tanyanya dengan wajah menelisik tiap inci wajah tampan anaknya.
Setelah masuk, Bima meletakkan tubuh Bian dengan perlahan diatas sofa ruang rawat Bara, setidaknya disini jauh lebih baik, lebih hangat ketimbang diluar.
Bima berlutut disamping sofa tempat Bian dibaringkan, "Maaf kemarin Ayah nggak angkat telfon kakak.., Ayah terlalu kecewa.. Abi punya niat ninggalin Ayah padahal Abi tau kalo ayah takut banget kalo kak abi pergi."
Bima mengelus surai halus milik Bian yang sedikit panjang. Lalu mengelus belah pipi Bian dengan sayang, tak lupa memberikan kecupan kecupan ringan dipuncak kepala sulung yang masih setia memejam. "Bantu Ayah ya kak.. Kita jaga adek sama sama."
"Jangan pernah berfikir untuk pergi apa lagi ninggalin Ayah sama Bara..
Ayah nggak mau kehilangan lagi.., cukup satu kali Ayah hampir kehilangan Abi."
"Bun-da.."
Kelopak yang semula terpejam dengan tiba tiba terbuka lebar, Bian bangkit dari posisi berbaringnya. Mengerang ketika merasakan sensai pening yang menyerang kepalanya akibat gerakan tiba tiba. Bian masih belum sadar jika kini dirinya berada satu ruangan dengan adiknya yang terlelap tenang diatas ranjang.
Setelah beberapa saat ia baru sadar ketika tangannya menemukan mantel sang ayah yang kini merosot jatuh dipangkuannya. Bian menyentuh mantel tebal itu lalu mencium wanginya. Bau khas Bima yang begitu Bian rindukan.
Seulas senyum terpatri diwajah tampannya, pertanyaan apakah ayah sudah memaafkannya kini memenuhi isi kepalanya.
"A-yah.." Belum sempat menikmati bahagia, Bian tercekat ditempat ketika dengan perlahan tubuh bongsor Bara mulai bangkit dari posisi berbaring dan mulai duduk. Jantung Bian berdetak keras dengan tempo yang membuatnya sedikit kepayahan.
Bahkan kini sebelah tangan Bian sudah mendarat didepan mulut guna membekap agar tak lolos selirih apa pun suara yang kemungkinan akan ia keluarkan.
"Ayah dimana?" Bian menggigit bibir bawahnya kuat kuta. Maniknya menatap lekat wajah polos Bara yang mencari keberadaan sang Ayah. "Ayah pergi ninggalin adek ya?"