Untuk pertama kalinya sejak seminggu terakhir Bara menjadi tahanan ruang ICU. Hari ini Bian memberanikan diri menemui adik kesayangannya tanpa ditemani siapa pun.
Ayah sudah pergi kekantor setelah mengantar nya kerumah sakit. Sengaja, Bian memohon kepada sang ayah agar diberi ijin sehari lagi untuk libur sekolah.
Dan disinilah ia sekarang, berdiri tepat disamping ranjang tempat Bara berbaring. Menatapi wajah tenang adiknya yang terlihat pucat, dengan mata terpejam dan mulut yang terbuka karena terdapat selang ventilator disana.
Wajah tampan adiknya penuh luka pun dengan beberapa bagian pada tubuhnya yang juga dipenuhi goresan goresan merah yang kini sudah agak mengering.
Bian tidak bisa membayangkan, bagaimana sakit yang dirasakan adik kecilnya. Pikirannya tiba tiba saja melayang kembali ia mengingat kejadian hari itu dimana bunyi keras disusul terkaparnya tubuh Bara, andai Bian lebih berhati hati. Andai dia.. Huftt..
"Maaf.. Maafin kak Abi ya? Lagi lagi kak Abi bikin adek terluka."
Dengan penuh hati hati tangan Bian menyentuh jemari kurus milik Bara, di punggung tangan itu ada luka memanjang yang jika terkena air mungkin akan terasa perih.
"Sakit banget ya?" Tanya Bian lalu setelahnya bibir tipis nya melengkung kebawah.
"Adek mimpi apa sih sampe betah banget tidur? Kak Abi boleh tau nggak?"
"Aaahh~ kak Abi tau, adek lagi sama Bunda ya?" Tanya Bian lagi. Kini wajahnya terlihat sedikit lebih berseri.
"Bilangin Bunda ya kak Abi juga mau ketemu Bunda.. Bilangain Bunda tolong cepet jempu kak Abi."
Bian menunduk, tak lagi mau menatap wajah tenang Bara.
"Disini sakit, dek.. Kak abi nggak kuat." Imbuhnya diiringi isakan kecil.
***
Dewa mampir kerumah sakit tanpa ditemani Saka. Kata Dewa, Saka ada urusan keluarga yang membuatnya tidak bisa ikut serta berkunjung menemui Bian. Tapi keduanya sudah bertukar kabar lewat pesan."Nih.." Dewa menyodorkan sebungkus nasi ayam lengkap dengan sebotol air mineral.
Bian menerimanya tapi bocah laki-laki itu tidak langsung memakannya ia meletakkan bungkusan itu dikursi kosong disamping tempatnya duduk.
"Kenapa nggak langsung dimakan?" Tanya Dewa ketika melihat Bian mengabaikan makan siangnya.
"Makan atuh.., cah ganteng aku ngantrinya pake perjuangan" Imbuhnya yang kini mulai menyantap makanan ditangannya.
"Dewa.."
Suara serak itu membuat kegiatan Dewa terhenti, dua sahabat itu kini saling tatap, keduanya saling melempar tanya lewat mata.
"Kalo Bara nggak mau bangun.. Aku gimana?" Usai mengucapkan itu kepala Bian tertunduk dalam. Kini kedua bahunya terlihat bergetar.
"Aku nggak mau kehilangan Bara kaya kehilangan Bunda.." Bian menangis tanpa suara hanya saja bahu ringkihnya tak bisa diajak bekerja sama.
"Aku nggak mau pisah sama Bara tapi Bara nggak mau sama aku.."
"Dewa.. Aku salah apa sih? Kenapa Bara benci banget sama aku..
Kenapa Bara nggak mau punya aku.. Apa aku emang enggak seberharga itu?"
"Dewa.. Aku takut, aku takut nggak bisa nepatin janji aku sama Bunda."
"Aku... Aku nggak mau buat Bunda kecewa.."
"Abi.." Suara Dewa ikut bergetar. Bocah tan itu bangkit mendekati duduk sahabatnya. "Abi nggak boleh ngomong gitu.."