Sejak saat itu kondisi kesehatan Bian kian menurun. Meskipun sudah diperboleh kan pulang kerumah, sulung arkayaksa itu tak pernah merasa benar benar baik. Luka dihatinya tak pernah sembuh, bahkan untuk kering pun rasanya susah.
"Abi.."
Ayah datang menghampirinya yang sejak tadi hanya diam menatap kosong langit langit kamar miliknyanya.
Bima pulang sejak dua hari yang lalu, lebih lama dari rencana awal ketika ayah dua anak itu meminta ijin untuk tugas keluar kota.
"Kenapa? Dari tadi ayah perhatiin kak Abi diem aja.."
"Dadanya sesek? Pusing?"
Bian masih enggan bersuara. Tak ada niat untuk menatap wajah ayah yang kini mencoba mengambil alih perhatiannya.
" Sayang..kenapa,hem??"
Tanpa ia sadari kini kedua manik kembarnya basah pun dengan pandangan yang kian berembun. Bian menangis dalam diam. Tak ada suara, isaknya ia tahan sekuat tenaga.
"Jangan ditahan..lepasin aja,nak." Ucap Ayah dengan tangan yang mengelus dada Bian dengan lembut.
Bian yang diperlakukan seperti itu tak kuasa menahan air mata. Kini ia menangis dengan kencang, membuat badannya sedikit bergetar. Isak nya terdengar pilu, menyayat hati yang mendengar.
"A-ayah.., Abi, Abi mau bunda.." Bibir tipisnya bergetar ketika ia mencoba bersuara.
"Hiks... Abi mau sama bunda.."
Bian merasa sesak, dekapan hangat ayah sedikit menyakitinya. Terlalu kuat, Ayah tanpa sadar melakukannya. Namun Bian tak protes, ia pun paham jika hati ayah pun ikut terluka oleh ucapannya.
Bian tahu, sangat tahu bagaimana Ayah berjuang selama ini mengupayakan agar tak lagi merasakan kehilangan. Bahkan ia juga yang menjadi saksi bagaimana Ayah hancur saat itu.
"Abi mau tinggalin ayah? Abi nggak sayang sama ayah lagi?"
Suara tenang ayah terdengar parau. Setelah mengendurkan pelukannya Ayah terus mengecupi kening Bian dengan sayang.
"Jangan tinggalin Ayah.. Kan Abi sudah janji."
"Maaf.. Maafin Abi, ayah.." Bian memeluk tubuh ayah erat, dan membenamkan wajahnya pada ceruk leher ayah dan menhirup aroma yang tercium menenangkan.
Sepasang anak dan ayah itu kini menangis dalam keheningan. Bian masih setia dalam posisinya hingga tak sadar jika sepasang mata menatap keduanya dengan wajah sendu.
°°°
Bian berjalan berdua dengan Bara yang mengikuti dibelakangnya. Kakak beradik itu tak saling bersuara sejak keduannya terlibat pertengkaran tempo hari.
Bian yang biasa menebar senyum hingga matanya ikut tersenyum itu kini tak pernah menunjukannya lagi dihadapan Bara.
Keduanya tampak asing. Tak sedekat dulu dan Bara menyadari hal itu. Kak Abinya telah berubah dan itu membuat hati kecilnya kecewa. Bara sudah terlalu sering dengan Bian yang banyak tingkah ketika berdekatan dengannya.
"Kak Abi.."
Bian tetap berjalan tanpa menoleh dan menjawab panggilan adiknya dibelakang. Bian tak tuli, suara Bara terlalu jelas ditelinganya yang hanya berjarak beberapa meter di depan Bara.