Pagi itu Bian terbangun dari posisi meringkuknya diatas lantai. Setelah kejadian semalam Ayah pergi meninggalkannya tanpa peduli suara tangisnya yang mungkin terdengar hingga keluar kamar.Tangan kanan Bian merabah wajahnya, mengucek pelan kedua mata lalu memijit pelipisnya lembut. Pening, sakit kepalanya karena terlalu lama mengis. Bahkan ia tak sadar kapan berhenti dan pada akhirnya jatuh terlelap.
Wajah sendunya melirik bingkai kecil diatas meja belajar yang terletak di seberang tempatnya bersimpuh. Foto ibu dan ayahnya disana sedang tersenyum, senyum indah wanita yang sudah melahirkannya, wanita yang rela bertaruh nyawa untuknya. Wanita yang rela mengorbankan hidup untuk kehidupan anak anaknya.
"Bunda.. Abi kangen.."
Bian bangkit tertatih. Lututnya yang terluka sempat terasa nyeri ketika ia menjadikan lutut itu tumpuan untuknya berdiri. "Bara sakit bun... Itu gara gara kakak.." Katanya memberitahu.
Bian meraih bingkai itu lalu menatapi wajah cantik mendiang ibunya. Senyum tipisnya terpatri, Bian dengan segala kesakitannya tersenyum dengan begitu tulus. "Abi harap Bunda nggak marah sama Abi.."
Ibu jarinya yang kini bergetar menyentuh permukaan kaca dengan ringan. "Abi minta maaf.. Tolong jangan kecewa sama Abi.. Cukup Ayah aja bunda jangan.."
"Abi mohon.. Jangan lagi.. Abi nggak punya siapa siapa kalo sampe Bunda juga kecewa.. Bunda boleh marah.., tapi— tapi jangan lama lama ya?"
"Bunda..." Panggi Bian pada foto ibunya. "Ayah marah, Bun.. Adek juga." Adunya kemudian. "Bunda nggak akan nolak Abi kan kalo nanti.. Kalo nanti Abi pulang ke rumah Tuhan.."
"Abi nggak tau lagi.. Gak tau gimana kalo Ayah bener-bener enggak peduli sama Abi."
"Abi salah.. Abi banyak salah tapi abi nggak ada niat untuk buat Adek celaka.."
"Abi nggak pernah sedikitpun ingin Adek terluka.. A-abi..., Abi minta maaf." Setitik air jatuh keatas kaca yang mengenai tepat wajah tampan ayahnya dalam bingkai kecil itu.
"Gimana..." Bian bertanya dengan wajah sendu, bibir tipisnya yang pucat bergetar ketika ia mengadukan segalanya pada foto mending ibunya "Gimana caranya supaya Ayah mau maafin Abi, bun?"
"Abi takut sendirian.. Abi nggak punya siapa siapa selain ayah sama Bara.."
Bian memeluk bingkai kecil itu erat mengabaikan nyeri di perutnya dan rasa terbakar diulu hati.
"Ayah.. hks.."
Tangis Bian pun pecah, pilu terdengar menyayat hati. Kesunyian kala itu memukul relung hatinya yang lara. Biasanya Ayah akan mendekap daksanya ketika manik kembar kesukaannya itu di genangi oleh keristal bening yang katanya begitu Ayah benci.
Bahkan Bian ingat, dulu Ayah pernah mengatakan tidak akan membiarkannya menangis. Tak akan pernah tapi kini? Bian memeluk lutut dengan tangisan kencang yang memilukan.
Ayahnya dimana?
Ayah sudah pergi dengan rasa kecewa.
***
"Nomernya Abi nggak aktif." Dewa menjauhkan ponsel pintar nya dari telinga ketika sambungan diseberang terputus tanpa adanya jawaban.
Dua sahabat baik dari Sabian itu kini duduk dengan cemas menanti kehadiran manusia yang sejak tadi menjadi alasan dari kegelisahan keduanya.
"Apa kita bolos juga? Samperin kerumahnya aja yuk." Ajakan Dewa dibalas gelengan keras dari Saka. Wajah tenang nan datar menjadi topeng dari kegelisahan seorang Saka yang bisa dikatakan lebih dekat dengan Bian ketimbang Dewa.