Pasca kejadian malam itu hingga dua hari setelahnya Bara tak kunjung keluar dari kamarnya, Anak itu hanya akan keluar jika keadaan rumah sudah sangat sepi.
Seperti saat ini, jam di dinding sudah menunjukan pukul 3 dini hari, Bara baru keluar setelah seharian berdiam diri tanpa sedikit pun ia mengisi perutnya.
"Sshhh..." Mulutnya terus merintih ketika perutnya terasa perih menusuk. Bahkan kini ulu hatinya terasa panas, mual juga menjadi yang paling terasa.
"Perut sialan! Jangan berulah gobl*k"
Bugh...
Bughh...
Bara sengaja memukuli perutnya dengan kepalan tangan besarnya. Kedua pipinya mengembung dengan bibir ia tutup rapat. Entahlah tidak ada gunanya tapi bara juga tak sadar ketika melakukannya.
"Adik kecil?"
Bara membeku, bayang seseorang yang berdiri dibelakangnya terlihat jelas dari tempatnya berdiri.
"Adek kenapa?"
"Adek sakit?" Nada tanya itu terlihat jelas sangat khawatir. Dengan secepat kilat punggung tangan Bian sudah mendarat dikening berkeringat milik Bara.
"Ya Ampun. Kamu demam, Dek!
A—ymph" Bian melotot terkejut ketika telapak tangan besar milik Bara mendekap mulutnya kuat sambil melotot galak Bara memberi isarat untuk kakaknya diam.
"Diem kak Abi!! Diem.. ughh..."
"Adek." Bian menahan tubuh adiknya agar tidak menghantam lantai dingin itu, mendudukan perlahan tubuh adiknya yang kini tengah menahan sakit.
"Kamu kenapa? Kenapa bisa gini dek?" Tanya Bian khawatir.
Bara sebal, kupingnya panas mendengar suara kakaknya itu. "Diem bacot! Tambah sakit nih."
Bian menipiskan bibirnya takut. Ia sedikit menggeser tubuhnya agar menciptakan ruang. "Maaf.., kak Abi khawatir" cicitnya kemudian.
"Sakit kak.." adu Bara akhirnya mengesampingkan gengsi.
"Iya... Iya.. sekarang kita balik ke kamar ya.. kakak bakal panggilin ayah sekalian ambil obat."
Bara tak lagi sempat membantah. Bocah itu pasrah saja ketika Bian membantunya kembali masuk kedalam kamar.
"Tunggu disini ya.. jangan tutup mata". Perintah Bian yang malah di sengajai Adiknya itu menutup mata tiba tiba.
"Adek!!!" Teriak Bian.
"Apa sih kak.." lirihnya kemudian membuka kembali kelopak matanya.
"Jangan tutup mata.. kakak takut."
°°°
"Apa ayah bilang.. jangan telat makan kan? Sekarang siapa yang susah?"
Bara mengernyit tak suka mendengar penuturan sang ayah yang terkesan terpaksa dan kerepotan karenanya.
'Cih. Coba saja kak Abi yang sakit. Bangs*t banget emang.'
"Kalo ayah merasa terpaksa udah sana pergi.. kak Abi juga mending pergi aja. Biarin Bara disini sampe mati."
"Heh!!" Bian menabok lengan adiknya yang sedang ia pijit. Sedari tadi sulung Arkayaksa itu sibuk melemaskan otot tangan adik kecilnya yang sedang berbaring sakit.