16. Pergi Rekreasi

4 2 2
                                    

Pagi telah tiba, suasana sejuk menyelimuti perkotaan. Tidak seperti siang hari. Di waktu pagi udara lebih sejuk dan bersih karena belum banyaknya kendaraan yang lalu lalang. Zero sudah bersiap rapi dengan pakaian sekolahnya, nampak menuruni tangga untuk sarapan. Nyonya Winata menyambut dengan penuh kehangatan begitu juga dengan Ayah Zero.

"Mari, silahkan Putraku," Papa menarik kursi, dan Mama mengambilkan Piring. Ini bukan hal pertama yang terjadi saat waktu sarapan. Mereka selalu memperlakukan Zero dengan begitu hangat saat tiba waktunya sarapan. Kenapa? Ya, tentu saja. Karena hanya saat sarapanlah Zero mau bergabung dengan keluarganya. Namun terkadang ia juga enggan.

Setelah keluar atau bahkan setelah kembali lagi ke Rumah, Zero akan jarang menemui mereka walaupun hanya untuk sekedar basa-basi. Zero menghabiskan waktunya di dalam kamar dan keluar bersama teman-temannya saja. Mungkin sebagian orang menganggapnya sangat membosankan, namun tidak bagi Zero.

Apa mungkin Zero membenci orang tuanya? Apa ada kesalahan dari orang tuanya? Atau Zero juga seorang Introvert. Jawabannya, Tidak!

Masih dengan menikmati makanan yang telah disediakan oleh pelayan. Mamanya dengan sabar menuangkan makanan ke piring Zero. Mengisi gelas besar dengan Air putih dan menggeser Segelas susu hangat.

"Ayo sayang," Ayahnya mulai menyendok nasi ke dalam mulut.

Zero hanya tersenyum simpul, kemudian mengikuti pergerakan sang Ayah yang di ikuti oleh Ibunya.

"Apa masakan ini Enak?" tanya Ibunya pada Zero. Zero hanya mengangguk tanpa menoleh.

"Ah, syukurlah. Ini adalah masakan Koki Revan.  Koki baru. Papa sengaja menyewanya spesial untuk memasak sarapan untukmu Zero. Iya kan Pah?" Ucap Ibunya menepuk pundah sang Ayah.

"Tak usah serepot itu Pah," sekarang Zero menatap Papa meski masih dengan tatapan datar.

"Tidak apa-apa, sayang. Papa melakukan itu demi dirimu. Kami hanya ingin kamu nyaman," balas ibunya.

"Benarkah? Untuk kenyamanan Zero?" Tanya Zero, kembali melirik Ayahnya. Dan pertanyaan Zero ini seperti sebuah tamparan keras bagi sang Ayah.

Ayahnya terlihat menarik nafas. Kini meletakkan sendok dan meraih tisu, membersihkan mulut, kemudian meneguk segelas air.

"Zero," suara Ayahnya sedikit tertahan.

"Jika menurutmu Vanya adalah tekanan, maka Papah akan mendukung apa pun keputusanmu."

Ucapan Ayahnya yang seperti ini sebenarnya sangat ditunggu-tunggu oleh Zero. Tapi sebelum pagi ini Ayahnya belum pernah berkata seperti ini. Ini sedikit membuat mata Zero berbinar, meskipun tanpa berucap sedikit pun. Ayahnya bisa melihat itu, dan ini sungguh membuat Tuan Winata merasa bersalah pada putranya.

"Tapi, jika Papah boleh meminta. Tolong jelaskan ke Vanya dengan baik. Agar dia tidak terluka. Karena walau bagaimana pun juga, pertemanan kalian 'kan sudah dari kecil. Papah juga tidak ingin ada perselisihan di antara Papah dan Papahnya Vanya," tuan Winata menjelaskan. "Kau bisa kan Zero?" Tanyanya.

Zero mengangguk mantap tanpa suara. Tapi bagi Tuan Winata dan Nyonya Winata, anggukan Zero sudah bisa melegakan mereka. Setidaknya Zero tidak akan membuat hubungan baik mereka dengan keluarga Vanya menjadi renggang.

"Oh ya. Pagi ini bisakah kau masuk sekolah sedikit terlambat? Papah bisa menjelaskan kepada Wali kelasmu," ucap Tuan Winata.

Zero menoleh, "Tidak perlu."

"Zero, tapi hari ini kau—" ucapan tuan Winata seketika berhenti saat Zero tiba-tiba memotong pembicaraan.

"Aku tau. Setelah pulang sekolah, aku akan ke makam sendiri. Aku tidak mungkin lupa, kepada Adikku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INSECURE GIRL [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang