Menemui Umi

577 39 16
                                    

Pukul enam lebih tiga puluh menit pagi. Sang bentala menyapa penduduk bumi dengan sinarnya. Kabut kabut masih tersisa, cukup menghalangi mata yang memandangnya.

Lelaki itu menarik resleting jaketnya ke atas sambil berjalan keluar dari pintu rumahnya. Ia juga mengambil sepatu sendal di rak teras kemudian meletakkan dan memakainya.

Dari belakang seorang wanita berhijab mint dengan gamis yang sepadan itu berjalan keluar rumah dan menutup pintu juga menguncinya. Ia pun sama sama seperti suaminya, mengambil alas kaki di rak untuk dipakai. Melihat suaminya sudah mengendarai sepeda motor di halaman rumah, ia sedikit berlari menghampiri.

"Mas Azam nunggu lama, ya?" Tanyanya. Ia merasa tidak enak.

"Enggak, kok. Udah siap?" Azam balik bertanya setelah menjawab.

"Iya sudah."

Azam menyerahkan helm kepada Asyifa. Asyifa menerimanya dengan nada tangan kanan karena tangan kirinya memegang kotak kue. Setelah memakai helm ia naik di atas motor pelan-pelan.

"Siap?"

"Iyaa." Jawab Asyifa dengan nada yang terdengar cukup senang.

Azam juga ikut tersenyum. Hingga pada akhirnya melajukan motor dan pergi dari sana.

💓💓💓

Motor matic itu berhenti di halaman rumah yang luas. Kedua pengendaranya turun. Asyifa dan Azam berjalan bersama menuju teras rumah yang pintunya terbuka. Langkah Asyifa sedikit lebih cepat dari suaminya. Karena ia sangat rindu dengan Faizah, Ibunya.

"Assalamualaikum." Ucap Asyifa cukup lantang.

"Umii."

Kakinya berjalan cepat melewati beberapa tangga di teras. Ia meninggalkan suaminya yang masih meletakkan helm di atas salah spion motor. Meskipun setelah itu Azam juga mengikutinya.

"Umi. Assalamualaikum." Ucap Asyifa lagi.

Tetapi masih belum ada jawaban. Ia curiga apakah tidak ada orang di rumah? Kalau pintu terbuka, memang biasanya seperti itu.

Azam kini berada di samping Asyifa. Ia juga bingung mengapa tidak ada jawaban saat istrinya mengucapkan salam.

"Masuk saja ya, Mas." Kata Asyifa.

Perempuan itu masuk tanpa ragu. Namun Azam yang mengikutinya cukup bimbang. Tidak biasa ia masuk ke rumah ini tanpa disambut terlebih dahulu. Meskipun sekarang ia adalah menantu dalam keluarga ini. Tetapi tetap saja baginya itu masih kurang sopan.

"Waalaikumussalam, Ning Asyifa." Jawab salah satu santri dari dalam dan keluar menuju ruang tamu.

Dia adalah salah satu santri yang mengabdi di rumah Kyai Zain.

"Kok sepi, Mbak? Umi sama Abi mana?" Tanya Asyifa.

"Umi dengan Abi kunjungan ke pesantren, Ning. Ada acara disana." Jawab perempuan yang usianya masih dibawah Asyifa itu.

Asyifa kecewa. Padahal dia sudah sangat bersemangat datang kemari. Dua orang yang baru saja datang ini masih berdiri. Tidak juga duduk di ruang tamu.

"Kira-kira lama nggak ya, Mbak?" Asyifa bertanya lagi.

"Insyaallah iya, Ning. Soalnya beliau baru saja berangkat."

Perempuan berjilbab mint itu sebenarnya sangat tidak sabar jika menunggu. Tetapi untuk bertemu dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ibunya, ia akan mencoba bersabar.

"Ya udah, Mbak. Makasih, ya." Ucapnya.

"Iya. Baik, Ning. Kalau begitu saya tinggal dulu."

"Iya, Mbak."

Sang Pelindung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang