Pukul sembilan pagi hari.
Dua hari setelah Asyifa dan Azam memutuskan untuk ta'aruf, mereka belum pernah saling menghubungi. Asyifa pun masih tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa dan mengerjakan skripsi. Seperti saat ini.
Sudah beberapa jam yang lalu ia duduk di atas kursi di kamarnya, menghadap laptop dan sibuk dengan tumpukan kertas di atas meja.
Kurang dikit, habis ini scroll Ig deh.
Setelah mengetik beberapa kata dalam satu kalimat di keyboard laptop, Asyifa merasa lega. Ia akhirnya menyelesaikan bagian ini setelah beberapa hari tidak bisa mengerjakannya. Baginya mood sangat berpengaruh ketika ia akan melakukan sesuatu. Oleh karena itu ketika moodnya tidak baik, ia sulit berkonsentrasi.
"Alhamdulillah. Selesai. Kok pinter sih, kamu." Ujarnya sendiri. Lalu tertawa kecil karena geli.
Tok tok.
"Ada orang nggak, nih?"
Suara itu di luar pintu kamarnya. Asyifa tahu bahwa itu adalah Wafi.
Asyifa segera beranjak dan berjalan untuk membukakan pintu sambil menggerutu.
"Kebiasaan Mas Wafi nggak ngucapin salam."
Cklek. Pintu dibuka.
"Assalamualaikum. Apa, Mas?"
"Hmm waalaikumussalam. Nih," Wafi menyerahkan sebuah map tipis bewarna biru kepada Asyifa.
Kening Asyifa mengernyit.
"Apa ini?" Tanyanya tak paham. Lalu menerima map itu.
Mereka sedang berada di ambang pintu.
"Dari Ustaz Azam. CV."
Mata Asyifa melebar. Maksudnya? Mengapa Azam mengirimkan Curiculum Vitee. Seperti melamar pekerjaan saja. Untuk apa?
"Mas,"
"Ikut aku." Perintah Wafi.
Asyifa yang sadar Wafi mulai berjalan pergi membutnya segera membuntuti kakaknya itu. Ia butuh penjelasan dengan datangnya CV itu.
"Mas aku nggak paham." Katanya.
"Ya dibaca dulu."
Kedua kakak beradik itu tidak berhenti dulu ketika berbicara. Wafi pun memilih untuk berjalan dan meminta adiknya untuk mengikutinya sampai ruang bersantai, tempat mereka menonton televisi biasanya.
"Terus kalo aku baca, kenapa?" Tanya Asyifa lagi.
"Duduk." Wafi memerintah.
Asyifa akhirnya duduk di sofa bersama dengan sang kakak. Ia membolak-balik kertas dalam map itu yang berisi dua lembar.
"Aku udah baca dikit."
Wafi menggeleng.
"Kamu itu nggak paham ta'aruf apa gimana, sih?"
Asyifa berpikir beberapa detik.
"Saling mengenal, kan?" Ia menjawab.
"Teknisnya?"
"Ohh."
Gadis berhijab sport bewarna hijau sage itu menggeleng-gelengkan kepala, tidak tahu. Bagaimana dirinya bisa tahu, yang mengatur kan Ayahnya.
"Selama ta'aruf kamu nggak boleh ketemu langsung sama orangnya, tanpa perantara. Nah sekarang yang jadi perantaranya itu aku." Kata Wafi sambil menghela napas sebal.
Lah? Kok Mas Wafi? Ihh malu.
"Kok Mas yang jadi perantara?" Tanya Asyifa kikuk.
"Ya nggak tau. Tanya aja sama Abi." Ujar Wafi singkat kemudian duduk di sofa lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pelindung Hati
General Fiction"Saya belum bisa jadi istri yang baik, tidak bisa memasak, belum bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Saya belum bisa apa-apa." Jawab Asyifa dengan suara yang bergetar. Azam hanya terdiam. Ia tertegun mendengarnya. Apakah istrinya menangis karena...