Asyifa segera masuk menuju kamar setelah sampai di rumah. Azam yang melihat istrinya seperti itu masih berpikir sebenarnya apa yang terjadi. Selepas pulang dari rumah mertuanya sikap Asyifa berbeda. Ia lebih bukan hanya diam, tetapi membuat Azam heran selama dalam perjalanan.
Kini Azam baru saja selesai memarkir motornya di teras lalu masuk berinisiatif untuk menemui istrinya. Tetapi saat ia cari di kamar, Asyifa tidak ada disana. Lalu dimana wanita itu?
Saat berbalik, ternyata ia melihat Asyifa membawa sapu dan alat mengepel dari pojok ruangan sebelah kamar mandi.
Azam ingin bertanya tetapi ia masih berpikir jika istrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Mas Azam belum makan, ya?" Tanya wanita berhijab itu.
"Iya. Belum. Kamu bukannya belum makan juga?" Azam balik bertanya.
Asyifa maju menghampiri Azam dengan peralatan yang ia bawa.
"Iya, Mas. Saya belum lapar." Jawabnya.
Wajah sendunya membuat Azam bingung harus bagaimana. Meskipun sebenarnya akhir-akhir ini perempuan yang sudah menjadi istrinya itu memang begitu.
Mungkin karena hubungan mereka belum berjalan lama.
"Saya tadi masak telor mata sapi. Tapi tidak bagus."
Mata Azam menyipit sejenak. "Tidak bagus gimana?"
"Kuning telurnya pecah. Jadi campur sama yang putih, Mas. Kalau Mas Azam mau, akan saya buatkan lagi. Saya coba hati-hati biar tidak pecah." Ujar Asyifa.
Ia tidak sepenuhnya melihat Azam yang menatapnya karena mendengarkan berbicara.
Azam tidak bisa menahan senyumnya untuk mengambang. Apa yang salah dengan kuning telur yang pecah? Bukankah jika di masak rasanya tetap sama?
"Nggak apa-apa. Nanti aku makan telurnya. Lagipula, pecah atau tetap utuh kuning telur kan tetap bisa dimakan. Kalau buat aku makanan tidak perlu bagus penampilannya, Syifa." Kata Azam penuh pengertian.
Perempuan berjilbab itu merasa lega. Bahkan sangat. Mengapa Azam bersikap sebaik ini kepadanya. Tetapi ia belum bisa menjadi istri yang baik untuk suaminya. Mencuci piring, bersih-bersih rumah, memasak dan yang lainnya pun Azam selalu ikut campur selama beberapa harus setelah menikah. Akankah ia menjadi istri yang durhaka?
"Bentar aku beli air galon dulu, ya. Kamu nggak ada alergi sama air galonnya?"
Asyifa menggeleng. "Tidak kok, Mas."
"Ya udah. Aku berangkat. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Setelah Azam pergi, Asyifa masih disana. Ia kembali teringat bagaimana saat tadi perjalanan menuju rumah. Yang benar saja ternyata ia sangat pilu hingga memeluk Azam yang memboncengnya. Mengapa tiba-tiba Asyifa merasa malu. Pipinya pun ingin memerah. Ia menggigit bibir agar tidak berteriak. Untung saja Azam tidak mengungkit lagi. Jika begitu pun ia bingung harus bersikap bagaimana?
Tetapi sekarang ia sangat malu.
❤️❤️❤️
Hari berjalan seperti biasanya. Hingga waktu berputar dan berganti malam. Asyifa duduk di atas kasur ruang tidurnya. Matanya masih memandangi laptop yang menyala dalam pangkuannya sejak satu jam yang lalu. Tumpukan kertas berceceran di atas kasur. Wanita berhijab simpel itu sangat fokus dengan apa yang ia kerjakan.
"Syifa. Maaf aku ganggu dulu, ya."
Suara Azam membuatnya menoleh. Lelaki yang berdiri di samping ranjang itu baru saja masuk ke dalam ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pelindung Hati
Ficción General"Saya belum bisa jadi istri yang baik, tidak bisa memasak, belum bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Saya belum bisa apa-apa." Jawab Asyifa dengan suara yang bergetar. Azam hanya terdiam. Ia tertegun mendengarnya. Apakah istrinya menangis karena...