Pukul enam lebih tiga puluh menit pagi hari.
Hari ini adalah hari pernikahan Asyifa dan Azam setelah lebih dari dua bulan yang lalu mereka melaksanakan acara lamaran. Kini acara kembali digelar di kediaman Kyai Zain untuk melaksanakan akad nikah.
Semua orang sudah duduk mengitari meja kecil tertutup kain putih itu. Disana seorang laki-laki muda bertubuh tegap dan rupawan itu menata posisinya untuk duduk. Di depannya terdapat meja berukuran kecil yang di atasnya diletakkan sebuah Al Quran. Meja kecil itu menjadi penghalang antara Zain dan dirinya. Tidak hanya itu para saksi dan seorang penghulu duduk di kursi mendampingi.
Azam menerima jabatan tangan Zain.
"Bismillahirrohmanirrahim. Ya Akhi Muhammad Azam Alif, Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Asyifa Zakiyah Lathifah, alal mahri alaati sholati haalan."
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur warodhitu bihi wallahu waliyut taufiq."
"Bagaimana para saksi?" Ujar penghulu.
"Sah." Jawab para saksi dan diikuti oleh bacaan hamdalah oleh tamu undangan.
"Barakallahulakuma wa baraka alaikuma, wajama bainakuma fi khoir."
Akad nikah berlangsung begitu sakral, terdengar bacaan hamdalah lirih dari lisan Azam. Ia mengangkat kedua tangannya, mengamini setiap doa yang dilantunkan oleh Zain, Ayah mertuanya. Setelah doa sudah dibacakan, Zain meminta Asyifa yang duduk bersama Ibunya untuk mendekat.
Tetapi Asyifa sudah tidak sanggup lagi untuk menahan air matanya yang akan jatuh. Kerongkongannya mengering, degup jantungnya mengedar ke seluruh tubuhnya dengan sempurna. Hingga tangannya pun gemetar.
Pada beberapa detik berikutnya, ia meraih tangan kanan seorang lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Kepalanya menunduk hingga hidungnya menyentuh punggung tangan Azam dan menciumnya. Kini ia benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Air matanya jatuh disana.
Sementara Azam menyadarinya, satu tetesan air mata Asyifa menitik di punggung tangannya. Ia memejamkan matanya erat, apakah keputusan ini sangat berat diterima oleh istrinya?
Setelahnya mereka mulai bersalaman dengan orang tua secara bergantian.
Barakallah.
❤️❤️❤️
Seusai akad nikah diadakan, kini resepsi pernikahan Asyifa dan Azam digelar di salah satu gedung Kota Surabaya. Pasangan pengantin baru itu diboyong ke sana sejak pukul delapan pagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul sepuluh. Para tamu undangan sudah hadir di sana dan duduk pada masing-masing kursi.
Di belakang pintu menuju aula acara, Azam menunggu Asyifa yang masih ada di ruang rias. Beberapa saat setelahnya wanita yang menjadi pengantin itu datang didampingi oleh perias pengantin untuk menemui Azam. Azam menoleh, tetapi Asyifa masih menunduk.
"Nanti kita pegangan tangan?" Tanya Azam.
Asyifa kikuk. Lalu mengangguk. Tiba-tiba perlahan mengulurkan tangan kanannya kepada Azam. Hal itu yang membuat sang perias tersenyum.
"Nanti suaminya yang digandeng, ya." Perias itu membenarkan.
Keduanya masih canggung, terutama Asyifa. Namun Azam menunggu istrinya dengan sabar, tidak buru-buru. Ia mungkin paham bahwa wanita ini masih menyesuaikan diri dengannya.
Bisa, bisa.
Asyifa mensejajarkan diri di samping kanan Azam, kemudian mulai menyelipkan tangan kanannya pada lengan kiri Azam dan menggandengnya dengan sedikit ragu. Matanya terpejam sejenak. Jantungnya berdebar tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pelindung Hati
General Fiction"Saya belum bisa jadi istri yang baik, tidak bisa memasak, belum bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Saya belum bisa apa-apa." Jawab Asyifa dengan suara yang bergetar. Azam hanya terdiam. Ia tertegun mendengarnya. Apakah istrinya menangis karena...