October 5th

423 47 0
                                    

[⚠️Blood, Blood Licking, Yandere!Sonny Brisko, Phantom Thief!Alban Knox, VSF]


Alban terbangun dalam kegelapan yang pekat. Butuh tiga detik baginya untuk tersadar bahwa saat ini ia tengah diculik. Ia bergerak, merasakan kaki dan tangannya diikat dengan sangat kencang. Mulutnya disumpal kain, dan sebuah kain hitam lainnya terikat erat menutupi kedua matanya.

Suara mesin yang menderu keras menandakan bahwa mobil ini melaju sangat kencang. Alban bisa memperkirakan sekitar seratus kilometer per jam. Di jalanan umum yang padat, mustahil sebuah kendaraan bisa melaju hingga batas kecepatan itu. Kecuali ia tengah dibawa menuju jalan sunyi yang dikelilingi pepohonan.

Setelah satu jam—menurut perkiraan Alban—mobil itu akhirnya berhenti. Pintu dibuka, dan tubuh Alban diangkat layaknya karung beras. Suara langkah kaki bersahutan menggema di sekitar. Mereka membawanya melewati sebuah lorong. Semakin jauh berjalan, lorong itu semakin dingin dan lembab. Ia dibawa menuju ruang bawah tanah.

Dentingan besi mengiung di telinga. Itu sel penjara, pikirnya. Ia didudukkan di sebuah kursi dingin. Tangan dan kakinya kembali diborgol dengan besi yang melekat pada kursi. Meski begitu, Alban masih berusaha tenang dan tidak membuat keributan.

"Bagaimana kalian bisa menemukannya?"

"Kau meremehkanku? Pencuri sepertinya tidak ada apa-apanya!"

Cih.

Alban sangat benci disebut sebagai pencuri. Karena ia lebih dari itu.

Kain penyumpal mulutnya dilepas, begitu pula dengan kain yang menutupi matanya. Fragmen-fragmen cahaya satu persatu berkumpul hingga akhirnya penglihatan Alban menjadi normal. Tampak seseorang berdiri di hadapannya. Cahaya putih berpendar terang, memantul pada dinding putih yang terlihat menguning akibat suhu lembab. Berbagai alat tajam terpajang di sebelah kirinya.

Ini bukan sel penjara, tapi ruang penyiksaan.

"Selamat datang di VSF." Lelaki di depannya menyapa. Sarkastik.

Alban menatapnya sinis.

Ia tahu tempat ini. Informasi yang pernah ia terima tentang VSF adalah orang-orang ini tidak berurusan dengan polisi maupun mafia. Namun, VSF lebih membuat Alban kewalahan dibandingkan dua lainnya. Dan pemimpin mereka... Alban tidak ingin membicarakan orang itu.

"Kau seharusnya senang karena kami menyelamatkanmu dari mafia busuk itu." Lelaki itu terus mengoceh, "Kaneshiro mansion. Kau mencuri sesuatu dari sana bukan? Dan mereka tengah mengejarmu hingga sekarang. Kau harusnya bersyukur VSF mau menampung kriminal sepertimu."

"Tampang lugu dan polos seperti ini... Siapa yang menyangka ternyata seorang pencuri kelas atas yang menjadi buronan mafia dan polisi?"

Alban sudah muak. Ia mencaci, "Fuck you."

Lelaki itu tertawa. "Oh, wajahmu cukup menggemaskan tapi mulutmu sangat kotor. Kau harusnya bertingkah sebagaimana kucing kecil mengeong." katanya mengejek.

"Kenapa kau tidak langsung saja membunuhku?"

"Mengapa aku harus melakukan itu?"

"Kau bawahannya."

"Tentu, bawahannya. Berarti aku harus membuatnya aman. Membunuhmu sama saja dengan membuatnya tidak aman."

Alban terdiam. Lelaki itu tentu sengaja melakukan ini agar ia terpancing, jadi Alban harus tetap tenang sembari memikirkan cara untuk melarikan diri.

Suara langkah kaki terdengar dari luar. Lelaki tadi segera mundur. Melihat sikap lelaki itu yang tiba-tiba berubah, Alban sedikit bergidik. Itu dia.

Sosok jangkung dengan surai blonde yang mencolok memasuki ruangan. Ia dikawal oleh dua orang bawahannya, berjalan dengan gagah menuju Alban. Ia berhenti tepat tiga langkah di hadapan Alban. Mata birunya memindai Alban dari kepala hingga kaki, seolah tengah menilai penampilannya.

"The Phantom Thief?" Lelaki itu bertanya dengan suara yang begitu dalam. "Atau perlu kupanggil, Alban?"

Nama aslinya adalah sebuah rahasia. Ketika melakukan pekerjaan, ia hanya akan menggunakan nama samaran atau meninggalkan jejak berupa paw kucing. Mendengar seseorang menyebut nama aslinya cukup membuatnya merasa asing. Namun ia tidak terlalu terkejut.

Alban tidak menjawab. Lelaki itu tidak berkata apa-apa lagi. Mereka tengah berkomunikasi melalui mata mereka—saling memprovokasi dalam diam.

Lelaki itu membuat gestur agar orang-orangnya keluar. Mereka berjalan keluar satu persatu meninggalkan ruangan dengan patuh.

"Apa kau ingat siapa aku?"

Sonny Brisko. Lelaki yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.

Ia mendecih, "My bad. Kau tentu saja ingat siapa aku."

Sonny melangkah mendekati Alban secara perlahan. Kaki berbalut boots tinggi itu mendarat di sela-sela paha Alban. Tangannya terangkat mencengkeram dagu Alban, membuatnya mendongak secara paksa.

"Kira-kira apa yang bisa kita lakukan dengan wajah semanis ini, huh?"

Mata kucingnya menatap dengan bengis. Ia meludahi wajah lelaki itu.

Dalam satu kedipan mata, Alban merasakan perih yang teramat sangat di bagian pipi kanan. Sebuah silet digoreskan melintang sepanjang pipi, membanjiri kulit putihnya dengan cairan merah pekat.

"Oh, betapa indahnya." Sonny tersenyum melihat reaksi Alban. Ia melanjutkan, "Alban, jika kau menjadi anak baik di hadapanku, aku akan memaafkan perbuatanmu."

Orang ini benar-benar gila.

"Aku bisa membunuh orang-orang yang menghalangimu. Bukankah kau masih menjadi buronan hingga saat ini?"

Alban memalingkan wajah, namun Sonny dengan keras menahan agar Alban tidak bergerak.

"Kau sangat keras kepala, Alban." Sonny mendekatkan wajahnya, sangat dekat hingga hidung mereka bersentuhan. "Bukankah kau menyukai ini, hmm?" Lidahnya terjulur menjilat darah di area pipi Alban hingga kelopak matanya.

"BRENGSEK!" Alban berteriak. Ia meronta-ronta, kursinya bergerak dengan kasar. Namun tetap tidak membuatnya terlepas.

"Hah...." Sonny melepaskannya. Ia melangkah mundur dan tertawa melihat raut marah Alban. Lelaki itu memunggungi Alban, membersihkan siletnya dengan sapu tangan.

"Kau benar-benar sangat nakal."

Hanya ada suara napas Alban yang terengah-engah.

"Aku telah mencarimu sejak lama, tapi sungguh sulit untuk menemukanmu. Dan kau—"

Sonny tiba-tiba berbalik, menarik pelatuk pistolnya pada sisi kepala Alban yang tengah mengayunkan pisaunya ke bagian punggung. Namun, pisau itu meleset mengenai pundak Sonny.

"—kau yang berdiri di hadapanku saat ini benar-benar seperti mimpi bagiku."

Alban berdiri kaku. Moncong pistol itu menekan keras sisi kiri kepalanya. Sedikit saja ia bergerak, maka kepalanya akan berlubang.

"Aku memberimu kesempatan kedua, Alban. Menyerahlah, atau kau akan menyusul temanmu. Kau tahu siapa."

Kedua tangannya terkepal. Mendengar temannya disebut, Alban benar-benar marah. Ia ingin menangis, tapi tidak ketika sedang berhadapan dengan iblis yang lebih kejam dari apapun.

Tubuhnya merosot. Alban berlutut di depan sang pemimpin VSF.

Lawan bicaranya tersenyum puas. "Keputusan yang bagus." katanya, sembari mengeluarkan sebuah pil dari dalam saku. "Telan ini."

Pil itu dipaksa masuk melalui kerongkongan Alban yang kering. Ia sempat terbatuk akibat rasa sakit yang mendera.

"Dan sekarang, Alban, kau milikku."

Perlahan-lahan, kesadarannya mulai hilang.

~~~

31 Days of October [Sonnyban]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang