Murid Baru Bersepatu Biru

9 0 0
                                    

Lou,

maaf,

membingkaimu,

dalam kisah

samar.

Terkadang kita harus memicing  ketika melihat sebuah perspektif yang buruk supaya apa yang nanti tampak di mata kita menjadi gambaran yang  jelas. Atau bisa juga kita melihatnya dengan agak menelengkan kepala dan sedikit menjulingkan mata supaya yang tampak kabur dan berbayang-bayang itu terlihat sedikit lebih fokus di mata kita.

Hari itu aku berangkat lebih awal. Aku ingin menikmati suasana pagi lebih lama dengan berjalan kaki ke sekolah yang hanya berjarak tiga ratus meter dari tempat tinggalku. Ini hari pertamaku masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas yang cukup lama.

Kembali mengumpulkan nyali untuk menghadapi hari baru yang seringkali membuatku merasa gugup saat bertemu lagi dengan teman-teman sekelas yang punya segudang cerita heboh selama liburan. Sedangkan aku? Aku hampir tidak punya cerita menarik selama liburan.

Udara pagi dingin, menyeka pipiku. Sekilas ingatan agak samar menyengat lamunanku. Antara nyata dan khayal. Tiga minggu lalu, di awal liburan. Sesuatu telah terjadi. Meskipun kurasa begitu aneh, tetapi tampaknya tak mengubah apapun sampai hari ini. Terasa begitu nyata, tetapi kurasa kisah ini belum layak untuk diceritakan di kelas hari ini. Udara dingin perih menampar pipiku.

Lamunanku buyar. Ah, kurasa pengalaman yang akan diceritakan teman-teman tidak seheboh keadaan yang sebenarnya, bahkan mungkin saja yang mereka alami itu hanyalah berupa ingatan samar seperti punyaku. Berbekal keyakinan itu, aku memutuskan untuk segera tiba di sekolah.

Menjadi yang pertama hadir di hari pertama masuk sekolah, mungkin saja akan memberiku sebuah keberuntungan. Aku melangkah lebih semangat sampai gerbang sekolah. Seulas senyum termanis sapa selamat pagiku pada Pak Geko, penjaga sekolah.

Tentu saja halaman tempat upacara bendera itu masih sepi, kelas-kelas bersih dan rapi. Bangku-bangku masih kosong. Aku berjalan berkeliling. Tak tampak seorang pun berkeliaran di sana-sini. Aku berjalan santai menuju kelas lamaku. Melihat jejak-jejak peninggalan penghuni sebelumnya yang kini tampak bersih dari debu selama liburan.

Papan Mading masih sepi, menyisakan bekas potongan-potongan selotip. Tempat cuci tangan telah digosok hingga bebas lumut, loker-loker kayu masih bersih dan kosong. Lantainya bersih dan agak licin. Pasti karena sudah dipel dengan agak kebanyakan membubuhkan obat pel yang super itu. Langit-langit koridor sudah dicat kembali dengan warna krem yang lembut. Menyusuri koridor menuju ke kelas baru, kelas dua be sambil mengamati langit-langit koridor yang baru.

Mendengarkan keheningan sejenak sebelum nanti pecah oleh riuhnya murid-murid yang berdatangan, kunikmati keheningan yang cukup langka ini. Mataku masih menyusur langit-langit, hingga aku melihat sesuatu yang sungguh ganjil di atas sana. Ya, di suatu teritis di seberang kelas baruku. Ada sepasang kaki yang menggantung di sana.

Terkadang kita harus memicingkan mata untuk melihat sebuah perspektif yang buruk supaya apa yang nanti tampak di mata kita menjadi sesuatu yang lebih mudah dipahami. Atau bisa juga kita melihatnya dengan agak menelengkan kepala dengan sedikit menjulingkan mata supaya yang tampak kabur dan berbayang-bayang itu terlihat sedikit lebih fokus di mata kita.

Aku melakukannya. Dan aku melihat sepasang kaki bersepatu biru saling mengait, dan mereka sedang berayun-ayun dengan santainya. Tentu saja sepasang kaki itu bertuan, bukan? Tapi, aku tak dapat melihat pemiliknya. Aku melangkah dengan hati-hati ke arah seberang.

Atau bisa juga kita melihatnya dengan agak menelengkan kepala dengan sedikit menjulingkan mata agar yang tampak kabur dan berbayang-bayang itu terlihat sedikit lebih fokus di mata kita.

Benar juga, rupanya sepasang kaki bersepatu biru itu adalah milik seorang siswa berseragam. Dia duduk agak menjorok ke belakang sambil bersandar ke dinding dan sengaja menjuntaikan kakinya ke bawah plafon teritis itu. Bagaimana bisa dia naik ke sana tanpa bantuan tangga?

Sekarang aku dapat melihatnya dengan jelas. Semula aku berniat menyapanya. Namun, tampaknya dia tidak melihatku yang tengah berdiri mendongak ke arah sepatu biru itu berayun. Siswa itu berseragam sekolah lain. Andai saja rambut yang berponi itu dicat biru, gayanya bakal mirip member boy band K-pop. Matanya terpejam, bibirnya yang tipis tampak tersenyum. Sendiri?

Ya, mungkin saja. Semua itu mungkin saja terjadi. Kulambaikan tanganku memanggilnya,

"Hoooi, turun! Ngapain di situ?" Teriakanku tidak digubris. Kedua lengan itu bergerak gemulai seperti drummer memukul udara. Tingkahnya makin konyol, menggemaskan.

Aku dapat melihatnya tetapi dia tidak melihatku. Pantas saja, pemilik sepasang kaki yang berayun-ayun itu, kedua matanya masih saja terpejam sementara kedua telinganya tertutup headset bagus berbentuk bando.

Di tempat sehening ini, mana mungkin teriakanku tak terdengar? Tidak mungkin suaraku kurang kencang. Pastinya suara dari headset itu jauh lebih kencang dari suaraku.

"Ck, ini nggak bisa dibiarkan. Masa iya, murid lama dicuekin sama anak baru? Yang benar saja! Ini namanya tidak sopan!" Sambil mengomel sendiri, kupijak dua-dua anak tangga ke lantai dua. Setengah berlari aku masuk ke ruang kelas tiga be yang masih kosong. Dari jendela sederetan pintu masuk, aku dapat melihat warna rambut yang mencuat di bawah bingkai jendela. Kepalanya bersandar ke dinding luar kelas.

Hmmm, jadi begini rupanya cara dia sampai di plafon teritis kelas tiga be. Dia tentu melompat keluar lewat jendela selebar meja belajar kelas ini. Ya, cuma itu satu-satunya cara sampai ke plafon teritis. Kudekati jendela mencurigakan itu. Aku harus berdiri di atas sebuah kursi agar dapat mengintip keluar jendela. Napasku langsung sampai pada puncak kepalanya saat jendela itu sedikit kujungkit. Namun, tampaknya cowok itu tidak menyadari kehadiranku saking asyiknya menikmati suara dari headsetnya. Diam-diam aku mengulurkan tanganku keluar jendela dan berhasil meraih bando headsetnya.

"Boleh pinjam headsetnya?" kataku pelan saja. Berusaha terdengar sesopan mungkin. Namun, tetap saja cowok itu kaget setengah mati. Seketika itu juga ia berdiri dan membalikkan badan. Wajahnya memucat, panik. Dia memandangiku tanpa kedip.

"Bob-bob-boleh, kok," katanya tersadar dari jeda hening yang lama. Akhirnya cowok itu gagal menyembunyikan kepanikannya. Namun, kurasa ia berhasil memutuskan mengeluarkan vokal beningnya untuk menjawab pertanyaanku. Aku tidak dapat menahan untuk tidak tersenyum menyambut kejadian ajaib pagi ini.

"Jimin ... Jimin ... ngapain kamu di situ? Kamu bisa jatuh tahu, kalau duduk di situ."

"Siapa Jimin? Aku?" tanyanya sambil menunjuk hidungnya sendiri. Aku tersenyum mengangguk. Tergelak melihat tingkahnya yang lucu.

"Aku bukan eeeh, siapa tadi? Jimin?" katanya setelah berhasil melompati jendela kembali dan duduk di dalam kelas.

"Habisnya, kamu mirip Jimin, sih. Kamu anak baru, 'kan?"

"Iya, aku pindahan dari luar kota."

"Ini ruang kelas tiga be. Emang kamu naik kelas berapa?"

"Nah, itu dia masalahnya, aku sendiri nggak tahu naik kelas apa nggak. Kalau naik, berarti aku ada di kelas yang benar. Kalau ternyata nggak naik ...." Suara bening itu menggantung membuat jeda.

"Kamu di kelas dua!" jawabku cepat.

"Aku mau ke kelasku. Kamu mau ikut lihat kelasku?" lanjutku.

"Kamu kelas dua?"

"Iya, aku naik ke kelas dua."

"Ya udah, aku ikut kamu lihat kelasmu."

Satu persatu murid mulai berdatangan. Setelah melihat-lihat kelasku, dia mengatakan harus menemui Kepala Sekolah dan menyerahkan sejumlah berkas ke ruang tata usaha. Dengan pasrah aku meninggalkannya di balik pintu ruang Tata Usaha. Tentunya, dia perlu mengurus administrasi sekolah sendiri. Masih banyak pertanyaan di benakku yang semestinya dia jawab.

Sebelum meninggalkan ruang Tata Usaha, dari dalam samar-samar aku dengar sapaan ramah seseorang,

"Selamat pagi Bu, saya Lou/@()+*#π√~, siswa baru [™@*^°}{~@#*()??]." Selebihnya adalah suara Bu Hyacinta mempersilakannya duduk. Aku akan merasa bersalah seandainya masih berdiri menunggu obrolan di balik pintu kayu yang sedikit menganga itu. 

Agak tak rela, aku melangkah pergi dengan sejumput harapan dapat bertemu dengannya lagi, secepatnya.

Chemistry di Antara AnomaliTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon