Memetakan Serakan Puzzle

2 0 0
                                    

Apa yang tidak bisa dikisahkan dari orang yang masih hidup?

Bahkan, kita masih sering mendengar orang tua kita bercerita tentang orang-orang yang sudah tiada; nenek moyang mereka.

Selain itu aku percaya, sebuah nama memiliki kisahnya sendiri.

Entah mengapa menjelang liburan sekolahku kali ini, ayahku terlihat agak gelisah. Gerak-geriknya tidak tenang saat berdiskusi bersama Mam. Namun, dia berusaha menyembunyikan hal itu di depanku. Ada apa gerangan? Aku bertanya-tanya dalam hati.

Hingga pada suatu pagi saat mengantarku berangkat sekolah, barulah ayah mengatakan yang sebenarnya.

"Minggu depan, Ayah akan berangkat ke desa keluarga Sung. Ada urusan bisnis yang harus diselesaikan." Aku menebak dua kemungkinan. Namun, aku tidak ingin mendahului bertanya. Aku memutuskan untuk menunggu. Ayah segera memahami kalau aku menunggu rencana selanjutnya.

"Begini, Nik ... seperti liburan-liburan yang lalu, Ayah sebenarnya ingin mengajakmu."
"Emmm, tapi kamu kan sudah naik kelas enam, mau ujian."

"Iya, Ayah," jawabku patuh. Padahal, aku sudah dapat menebak sesuatu yang tidak sesuai keinginanku, adalah konsekuensi yang harus kuterima untuk kali ini.

"Kamu harus belajar lebih rajin lagi untuk kelulusan. Liburanmu kali ini diisi dengan bimbel seminggu tiga kali, ya."

"Yaaah, tidak liburan dong, namanya." ujarku kecewa.

"Ya, tapi jangan sedih dulu, Nik. Ayah janji, kalau tahun depan kamu lulus dengan nilai terbaik, Ayah akan mengajakmu lagi liburan ke desa, sebagai gantinya." Rupanya ini hanyalah cara ayah memacu semangat belajarku.

"Atau kamu mau liburan ke tempat lain? Nanti Ayah akan antar." Tambahnya dengan nada lebih ceria. Seakan khawatir tawaran dan janji ayah berubah lagi,

"Deal! Janjii ya, Yah!" Cepat-cepat, jari kelingkingku mengait jari keliling ayah sebagai tanda kesepakatan. Ayahku tersenyum lega. Sejak saat itu kegelisahan ayah yang kurasakan sebelumnya, berangsur lenyap.

Awalnya aku tidak mengira ada sesuatu yang lebih serius dari sekadar menunda liburanku mengunjungi keluarga Sung, teman Mam itu.
Untuk sementara waktu, alasan bimbel seminggu tiga kali di masa liburan dapat aku terima begitu saja. Namun setelah lama kupikir-pikir, menyabotase liburanku dengan cara memaksa mengikuti bimbel, itu terasa mengada-ada.

Beberapa hari setelah ayahku berangkat ke desa keluarga Sung, aku mulai bertanya-tanya, mengapa ayah dan Mam mencoba menjauhkan aku dari Liam. Mungkin, ada sebuah alasan yang terlalu sukar dipahami oleh anak seusiaku.

Memetakan kembali kejadian-kejadian yang telah aku alami, itu tidak sulit. Namun, memecahkan misterinya, itulah bagian tersulit.

Berbaring menatap langit-langit kamar, aku mencoba melakukannya.

Aku mulai dengan sebuah ingatan di liburan terakhirku kemarin.

***

Ini kali kedua aku menghabiskan liburan di desa keluarga Sung. Saat menginjakkan kaki lagi di tempat itu, aku melihat dia di pelataran berumput hijau yang dinaungi pohon-pohon Flamboyan besar, bersama seorang guru dan beberapa muridnya, berlatih bela diri. Mereka belajar menggunakan tongkat yang panjang sebagai pengganti pedang.

Keesokan harinya, kami pergi bersepeda bersama. Kali ini, ayah yang mengantarku dengan sepeda tua. Sementara Liam mengendari sepedanya sendiri.

Karena ayah tidak terbiasa naik sepeda, ditambah lagi jalanan yang semakin menanjak, dan aku sebagai bebannya, sepeda ayah terseok-seok mengikuti laju sepeda keren Liam. Hingga terkadang sambil terengah-engah, dia berhenti sejenak untuk menarik napas. Liam yang sudah melaju di depan mendahului kami, sesekali berhenti untuk menunggu kami yang kepayahan.

Chemistry di Antara AnomaliTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon