Jejak yang pernah kau tinggalkan di relung jiwaku,
telah mengukir, menggurat, membentuk pribadiku.
Meninggalkan citra baru khayalmu,
Meski rasa itu telah mati, nada itu telah sunyi dan sinarmu telah memudar,
Ijinkan aku terus mengingatmu,
sebagai yang pernah hidup, akan dan selalu ada
mengisi jiwaku.
"Nik, kamu udah ditinggal, lho!" Terdengar suara perempuan dari salah satu kamar. Tak lama dengan agak tergesa, seorang gadis kecil nan imut keluar dari dalam rumah. Ibunya yang bersanggul anggun mengikutinya dari belakang.
"Terus, kamu berangkat sama siapa?" Masih dengan suara yang sama, kali ini terdengar cemas.
"Sama saya, Nyonya," jawab seseorang dari arah halaman rumah itu. Gadis chubi itu menghentikan langkahnya. Matanya yang bulat bersinar menatap seorang anak laki-laki yang sedang memarkir sepeda tuanya di depan rumah itu.
"Ya, sudah sana cepat berangkat. Kamu sudah tertinggal jauh, lho." Melihat putrinya tampak termangu, sang ibu mendorongnya untuk terus berjalan ke arah halaman depan.
Tanpa ragu, sang ibu menyerahkan putrinya untuk diantar oleh anak laki-laki itu sambil berpesan,
"Titip putri ibu ya, Liam. Hati-hati di jalan. Maaf sudah merepotkanmu."
"Ndak apa-apa, Nyonya," jawabnya sopan.
"Tapi, Mam ..." Gadis kecil bergaun biru itu agak ragu, tetapi tidak ada pilihan lain. Dia sudah tertinggal jauh. Berlari pun tak akan bisa sampai tepat waktu.
"Bisa duduk menyamping, kan?" tanya anak laki-laki yang disebut Liam oleh ibunya tadi.
"Emmm ..." Gadis imut itu tidak yakin dengan yang dimaksud 'duduk menyamping'. Dia menoleh mencari jawaban. Namun, ibunya sudah berjalan menjauh menuju ke dalam rumah kembali.
"Nanti pegangan yang kuat, ya. Biar nggak jatuh," pintanya.
"Ndak usah kuatir, aku bisa jalan pelan-pelan aja," lanjutnya berusaha menepis keraguan gadis yang akan diboncengnya. Gadis kecil itu mendengarkan. Dia pun mengangguk tanda setuju.
Pemuda kecil itu membawa penumpangnya dengan hati-hati. Seolah gadis yang ada di boncengannya itu sebuah guci antik yang mudah pecah. Saat jalanan mulai terasa menanjak, dia mengayuh sepedanya sepenuh hati. Seolah membawa hadiah berharga, dirinya diliputi perasaan gembira. Namun, entah karena perjalanan dengan sepeda kali ini terasa melelahkan atau justru menegangkan, dirinya terjebak pada kebisuan yang lumayan panjang. Kegembiraan yang langka dan sudah dia nantikan beberapa hari belakangan ini, justru membuatnya lebih dari sekadar canggung.
Tidak seperti di awal tadi, dengan percaya diri menyapa ramah. Kali ini setelah hanya berdua saja, dia merasa sangat gugup, bahkan hanya untuk mulai bercakap-cakap. Namun, dengan teguh dia mengayuh sepedanya. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan hadiah berharganya duduk dengan nyaman dan baik-baik saja. Hanya itu yang mampu dilakukannya, tanpa berani mengatakan sepatah kata pun. Entah mengapa tiba-tiba saja ide kreatifnya terasa kosong, kelihaian bertuturnya tiba-tiba menguap, lalu bibir dan pita suaranya pun ikut-ikutan membeku.
Setelah melewati kebisuan dan hiruk-pikuk perdebatan hati yang cukup panjang, akhirnya sampailah sepeda tua itu di depan sebuah bangunan kokoh berdinding batu.
Tampak kuno, setua sepedanya. Terdapat beberapa jendela besar dengan hiasan kaca patri pada tiap dindingnya. Pada jendela-jendela yang lebih kecil terdapat gambar-gambar manusia, simbol-simbol huruf dan gambar-gambar binatang. Hiasan itu dirangkai dengan teliti menggunakan kaca warna-warni dalam teknik mozaik. Semuanya tampak artistik menghiasi dinding bagian atas yang tinggi menjulang bagaikan bangunan bertingkat. Di bagian belakang ada bangunan kecil, ramping, tinggi menjulang menopang sebuah lonceng besar yang tergantung di bawah atapnya yang berlubang. Hanya menara lonceng itu saja yang tidak berhiaskan kaca patri. Pada jam tertentu, lonceng itu dibunyikan seseorang dengan cara menarik tali tambang kasarnya dari dasar menara.
Gadis imut itu segera turun dari boncengan lalu setengah berlari terseok-seok menuju dua bilah pintu kayu yang besar dan berat itu. Gaun biru mudanya turut melambai-lambai mengikuti gerak tubuhnya yang putih bersih, melompati beberapa anak tangga di bawah pintu masuk yang kebetulan sedikit terkuak itu.
Pemuda berusia dua belas tahun itu tertegun sejenak. Membiarkan dirinya terhanyut pada sebuah pesona hingga ia benar-benar lenyap ditelan gedung tua itu. Dan benar saja, wajah chubi nan imut itu muncul lagi dari balik pintu,
"Makasih, Kak! Sampai nanti!" Lengkingan kecil yang tak sanggup dia lupakan.
Pemuda kecil itu menuntun sepedanya ke arah lain. Tidak jauh dari bangunan tua tadi, dia menyandarkan sepedanya pada sesosok pohon karet besar di seberang pintu masuk sebuah ruangan kecil. Bangunan ini tampak seperti ceruk yang dalam. Berdiri terpisah dari gedung tua yang dimasuki gadis chubi tadi. Meski letaknya hanya di samping gedung tua itu, ruangan kecil ini dibuat berbeda dengan bangunan induk yang tampak artistik tadi. Seseorang yang masuk ke dalamnya akan ditelan suasana hening yang magis, menghanyutkan. Seolah senyap dari dunia nyata yang ramai lalu-lalang kendaraan di sekitar kompleks gedung ini.
Liam secara rutin datang menemui gurunya di tempat ini.
"Maaf, agak terlambat, Guru." Dia langsung duduk menghadapi kitab lebar.
"Lain kali jangan terlambat, ya," kata sang guru sabar menenangkannya.
"Baik, Guru," jawabnya patuh. Pelajaran pun dimulai dengan mengulang sight reading Minggu lalu.
Satu jam telah berlalu. Gerimis dan angin kencang tampaknya menghalangi rencana Liam untuk keluar ruangan yang tadi terasa hangat dan nyaman. Setelah mengakhiri pelajaran dan saling mengucapkan salam, sang guru sudah lebih dulu keluar pintu menerjang hujan. Tampak cepat-cepat berlari kecil tanpa penutup kepala. Rumahnya terletak hanya di belakang dinding menara lonceng.
Liam teringat gadis kecil yang diboncengnya. Dia bermaksud kembali ke arah bangunan induk untuk menjemputnya. Gadis itu pasti sedang bingung mencari-cari pengantarnya. Sambil berjalan hati-hati di bawah tepian teritis, menghindari tetesan air hujan, Liam berusaha menguasai hatinya agar tidak terkunci kebisuan seperti di perjalanan tadi. Dia tak boleh tampak segugup itu. Aku bisa, bisiknya menenangkan diri sendiri.
Namun, tetap saja, saat dari kejauhan dilihatnya pesona gadis chuby nan imut sedang berdiri memeluk sikunya sambil memandangi tetesan hujan yang mengguyur teras gedung itu, tak urung membuat nadinya yang semula rapi adagio berubah tempo menjadi allegro tak beraturan.
Liam harus berhenti sejenak menata ulang denyut nadinya yang sempat berantakan. Aku harus ngomong apa, ya?
Tanpa aba-aba, gadis itu menoleh ke arahnya.
"Masih hujan!" serunya singkat.
Namun, yang membuat napas Liam hampir berhenti adalah senyuman yang menghiasi paras chuby nan imut itu. Senyum yang membuat mata bersinar itu tampak menghilang meninggalkan segaris bulu mata lentik di sana. Karena tersenyum dengan mata terpejam seperti itu, Liam menganggap sikap canggungnya tak terlihat oleh gadis itu. Perlahan dia mulai menguasai dirinya kembali.
"Ndak bisa pulang kalau hujannya kayak gini." katanya lantas berdiri sejajar gadis kecil itu.
"Nunggu sebentar lagi, ndak apa-apa 'kan?" lanjutnya. Gadis itu mengangguk menatap hujan.
"Kamu kelas berapa, Nik?" Suaranya kini terdengar cukup tenang, sepenuhnya sudah dapat menguasai diri.
"Kelas tiga sebentar lagi naik kelas empat." Suaranya seimut wajahnya. Percakapan pun dimulai.
"Kakak kelas berapa?"
"Kelas enam. Kalau lulus nanti, lanjut sekolah kejuruan."
"O, udah selesai ujian ya, Kak?" Pria kecil itu mengangguk.
"O, iya, aku Wiliam. Kamu Nik-siapa?"
"Nicka," jawabnya singkat.
"Panjangnya?" pinta Liam menuntut.
"Veronicka Audrey Adiwangsa"
"Nama kamu bagus banget, tapi susah dieja," celoteh Liam sambil tersenyum.
"Nama Kakak juga susah dibaca," balas Nicka sekenanya.
"Panggil Liam aja," sahutnya cepat.
Berbeda dengan Nicka yang memang tidak mudah mengingat nama seseorang yang baru dikenalnya. Diam-diam Wiliam mengeja nama itu perlahan lalu menyematkannya di dalam hati. Gadis ini bukan putri sembarangan, batinnya.
BINABASA MO ANG
Chemistry di Antara Anomali
Roman pour AdolescentsBersentuhan dengan Keluarga Sung, Wangsa yang mewarisi darah Erlao, memberi warna tersendiri bagi hidup Nicka. Sebagai keturunan bangsawan, Liam dengan sisi tradisionalnya memesona siapa saja. Perjumpaannya dengan Nicka, membuka gerbang dua budaya...