Rooster Talks

3 0 0
                                    


Pekarangan selalu dipenuhi obrolan seru para leher jenjang. Sesekali terdengar riuh tawa renyah mereka saat satu dari mereka usai bergunjing tentang si kaki panjang dengan tampang serius. Entah siapa yang dimaksud si kaki panjang. Mereka semua tampak sama, berleher jenjang dan juga berkaki panjang.

Anak laki-laki itu sama sekali tak mengerti apa yang mereka sedang mereka bicarakan. Namun, tawa para kalkun di pekarangan ayahnya itu sedikit menghibur kejenuhan dalam dirinya yang sedang menunggu kabar baik dari ayah yang sebentar lagi akan didengarnya.

Sebelum terpaksa harus ke luar dan duduk menonton para kalkun di pekarangan, dia sempat mendengar sedikit keributan dari meja dapur saat sedang menikmati sandwich sarapannya.

"Ada masalah begini jangan malah dipikir sendiri. Kamu tahu tidak, dua kepala lebih baik ketimbang hanya satu?"

"Harus dua, ya? Gimana kalau ada dua tapi yang satu nggak ada isinya? Atau yang satu isinya cuma kotoran?"

"Ya, itu kamu!"

"Ck, biasanya yang merasa, itulah yang paling keras teriaknya!"

"Maksudmu?!"

"Ya, kamu, bodoh!"

"Lho, kenapa jadi aku yang bodoh?"

"Itulah sebabnya, kalaupun harus ada dua kepala, yang akan aku pilih bukan kepalamu, bodoh!"

Mantap! Ayah memang selalu pemenangnya, batin anak laki-laki itu dengan bangga sambil mengunyah gigitan terakhirnya.

Tiba-tiba ayahnya sudah di belakang merangkulnya sambil menyodorkan segelas susu penutup sarapannya,

"Liam, tolong kamu awasi dulu kalkun-kalkun di luar itu! Ayah perlu bicara sedikit dengan tuannya," kata sang ayah berbisik di telinganya.

"Kali ini pasti paman yang akan dipecundangi," gumamnya sambil berlalu melirik sedikit culas ke arah pamannya.

Sayang, dirinya tidak dapat menyaksikan akhir dari perdebatan antara ayah dan pamannya itu.
Itulah sebabnya mengapa sekarang dia duduk di bangku pekarangan menghabiskan sarapannya, sambil berusaha beralih ke obrolan para kalkun yang sama sekali tak dapat dia mengerti.

Tak lama, pria berkemeja kotak-kotak berlapis rompi kulit dan topi lebar itu keluar menghampirinya dengan senyum lebar penuh kemenangan.

"Terima kasih, Nak, sudah mau menunggu," kata pria gagah berbusana koboi itu seolah-olah berbicara dengan orang dewasa.
Ayahnya memang selalu memberi contoh bagaimana bertutur santun dan bersikap dewasa pada setiap kesempatan mereka tengah bersama.

"Jadi, apa kabar baiknya, Ayah?"

"Sabar, Nak, tujuh hari yang akan datang, akan ada tamu yang datang dari kota. Ayah mengundang mereka sekeluarga. Jadi mungkin kali ini putri kecilnya ikut juga datang bersama mereka."

"Apakah putri Nyonya itu cantik, Ayah?"

"Kamu sudah mengenal ibunya, Liam. Dia teman ibumu. Tentu saja putrinya cantik seperti ibunya," kata pria itu sambil tersenyum memandang putranya. Anak laki-laki itu tampak antusias.

"Kalau begitu, aku akan ..." ucapannya segera terpotong tawa ayahnya. Katanya,

"Tunggu, Nak. Sebelum itu, terlebih dahulu kamu perlu belajar memperlakukan dia dengan baik."

"Tentu, Ayah. Aku senang sekali akan bertemu kawan baru."

Wiliam terlalu bersemangat hingga dia lupa menanyakan nama gadis cantik yang akan menjadi tamunya pada tujuh hari mendatang.

Tak masalah, ibu tentu bisa memberiku sedikit informasi. Kecerdikan memberinya ide.

Menjelang makan malam, Wiliam mendekati ibunya yang sedang mengaduk sup di dapur. Dia sudah tidak sabar ingin mengorek informasi terutama tentang putri cantik itu.

"Ibu, tamu ayah Minggu depan itu teman Ibu sungguhan?"

"Ayah, sudah bilang, ya?"

"Iya. Emmm ... boleh aku tahu namanya?"

"Ibu pernah sekali mengunjungi Mien saat melahirkan putri pertamanya. Tapi sejak itu, ibu tidak pernah bertemu putrinya lagi. Mien belum pernah membawa Veronika lagi saat berkunjung ke rumah kita. Mungkin dia sudah besar sekarang."

"Hm, jadi namanya Veronika? Ayah bilang, Nyonya Mien, teman ibu itu punya putri yang cantik?"

"Ya, seperti yang ayahmu bilang."

Nada suara itu di ambang keraguan. Masih dengan semangatnya, Wiliam mengajukan permintaan,

Sebuah rencana sederhana, tetapi memerlukan trik yang cantik, ditambah sebuah keberanian yang cukup dan tentu saja sebuah izin dari orang tuanya.

"Ibu, bolehkah Minggu depan aku ajak dia belajar bersama?" Ibunya mengangguk ke arah lain.

Sebagaimana seorang ibu yang paham bagaimana putranya telah merinci apa yang perlu dilakukannya untuk setiap rencana yang ada di pikirannya, maka dia hanya mengangguk meskipun dia sendiri cukup tahu, setelahnya akan ada banyak kendala. Seperti yang selama ini menjadi kekhawatirannya jika terkait pertemanan antar keluarga. Namun, akhirnya dengan berat hati sang ibu mengizinkan. Dia hanya tidak ingin putranya kecewa.

Sejak malam itu, Wiliam memiliki kebiasaan baru. Dia sering tidur lebih larut lagi. Berbaring dengan mata terpejam hanya akan mengganggu prosesi tidurnya. Membayangkan seorang putri cantik membuat dirinya berkhayal terlalu dalam. Dia tak sabar menantikan saat itu.






Chemistry di Antara AnomaliTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon