Menjelang upacara bendera, di kelas, teman-teman lamaku masing-masing sibuk mempersiapkan diri. Ada murid yang lupa membawa topi atau dasi. Dia segera berlari ke koperasi sekolah di ujung koridor dekat ruang guru untuk berebut dengan beberapa teman senasib untuk membeli satu set yang baru. Ada juga murid yang topi dan dasinya tertinggal entah di mana. Dia harus segera mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan diri dengan cepat sebelum upacara bendera dimulai.
Biasanya, dari kemeja seragam seorang murid yang tadinya putih, bersih dan licin itu tiba-tiba saat di kelas berubah kusut, berdebu, dan digayuti helaian sarang laba-laba. Mudah ditebak di mana dia bersembunyi.
Yup! Di salah satu kelas yang memiliki plafon rendah yang bolong. Sebuah tempat persembunyian yang mudah dijangkau dengan berdiri di atas meja dan dengan lengan bertumpu pada kisi-kisi plafon mengangkat setengah tubuh melewati kayu kisi-kisi hingga menyisakan kaki yang tinggal ditarik ke atas. Maka, abrakadabra! Tak seorangpun dapat menemukan si Badung yang kini duduk meringkuk dengan tenang di bawah atap genteng sekolah. Demi bolos upacara, pilihan tempat persembunyian bagi para Badung terbilang cukup banyak. Akan tetapi, plafon tetap jadi tempat favorit. Faktanya, ruang kosong di bawah atap genteng itu hanya bisa diisi paling banyak dua Badung saja.
Untunglah hari pertama masuk sekolah, kegiatan belajar mengajar belum sepenuhnya. Di kelasku hanya berkutat sekitar perkenalan guru-guru baru, jadwal pelajaran baru, aturan-aturan administratif yang baru dan segala remeh-temeh tak berfaedah antar penghuni kelas yang sebagian besar tidak aku cermati dengan baik. Sebagian karena tersita mengamati seisi kelas seraya bertanya-tanya, apakan murid baru tadi sudah memasuki kelasnya?
Setelah lelah mengamati siapa saja yang lewat di depan kelasku, aku hampir menyerah. Aku tidak dapat menemukan dia dimanapun. Sambil menenteng headset bagus milik Jimm ... eh, Lou, aku melangkahkan kaki ke arah kantin. Pencarian ini sungguh menghabiskan energi dan membuatku lapar. Mudah-mudahan setelah mengudap beberapa camilan dari kantin, pikiranku kembali fokus.
Rupanya siang ini kantin penuh diserbu murid-murid dan para Badung yang kelaparan. Tidak ada satu kursi pun yang tersisa. Kecuali sebuah bangku dan meja kecil yang berbatas mika tebal bening, terletak persis di depan meja kasir. Rata-rata pengunjung kantin enggan duduk di tempat itu. Selain ada perasaan tidak nyaman saat makan sambil terus menerus diamati oleh mbak penjaga mesin kasir, ada mitos aneh seputar bangku yang jarang dibersihkan itu karena konon sepanjang hari diduduki sesosok hantu menyeramkan.
Bagiku, tidak pernah ada yang aneh di bangku itu kecuali seorang mbak kasir yang mulutnya sering komat-kamit tak jelas. Itu pun bagiku tidak aneh. Perempuan itu suka sekali berbicara kepada siapa saja yang hendak membayar jajanannya. Terkadang, isi pembicaraanya terlalu ramah sehingga para pengunjung kantin enggan menanggapi obrolannya. Bagi yang sudah paham kebiasaan mbak kasir, biasanya akan mengacuhkannya atau membiarkan saja dia berbicara sendiri.
Kakiku menuntun agar aku duduk sendirian di bangku mitos itu tanpa rasa bersalah. Diikuti tatapan nyinyir beberapa Badung. Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanyalah menikmati hangatnya semangkuk yamin ayam lezat di hadapanku. Tiba-tiba,
"Aku ikut duduk di sini. Boleh, ya?" Pemilik suara itu tahu-tahu sudah sampai di depanku. Dibatasi meja, dia duduk membelakangi kasir. Saat mengangkat kepala, aku mengenali pemilik suara bening itu.
"Lou?"
"Hey, kamu sudah tahu namaku?"
"Eh, iya, itu ...." Aku ketahuan.
"Ya, udah nggak apa-apa. Kamu lanjutin aja makannya. Sambil dengerin kisahku, ya?"
"Kisah? Tapi ... aku ...."
"Aku temenin kamu makan sambil dengar ceritaku sampai selesai jam istirahat aja, kok." Suaranya tenang tanpa tergesa. Ada nada yakin pada setiap kalimat yang diucapkannya. Aku tersihir tanpa paksaan.
"Okey, baiklah." Dan tanpa syarat.
Cerita pun dituturkan lancar dengan frekuensi suara Lou yang rendah dan dalam. Luar biasa! Dengan kondisi seramai pengunjung kantin siang itu, aku dapat makan dengan santai dan tenang, juga dapat mendengarkan cerita Lou dengan jelas. Sejernih suaranya. Anehnya, penuturan se-stabil itu sama sekali tidak terganggu, seberisik apapun suasana kantin siang itu.
At the time, the sky was so blue, but i felt so blues.
Waktu itu kita masih sangat muda. Tak pernah terpikirkan sepercik rasa akan tertinggal di relung terdalam. Hanya habiskan hari bersama. Tertawa dan berbagi cerita. Bahagia tercipta dengan sederhana ...
"Nik, setiap kali melintasi tempat itu, seperti ada sesuatu mencubit hatiku.
Pagi itu, aku dengan kemeja terbaikku mengosongkan boncengan sepedaku siap membawamu pergi bersamaku. Entah karena gaun biru muda yang kau kenakan hari itu atau karena aku mengira hari masih terlalu pagi. Kau memandangiku, tertegun sejenak. Sekilas dapat kulihat wajahmu tampak merona. Seolah berusaha menyembunyikan rona itu, 'Yuk, berangkat sekarang,' ajakmu dengan senyum cerah untuk mengalihkannya.
Kita hanyalah adik dan kakak kelas. Namun, pergi berdua berboncengan dengan sepeda seperti hari itu, tentu bukanlah hal biasa. Seperti juga saat kita sengaja membunuh waktu dengan sekelumit kisah, atau juga lelucon konyol yang sering kita tukar tuturkan di dipan di bawah pohon jambu depan rumah. Dan berakhir dengan gambar asal-asalan dan gambar coret-coret yang kita buat di atas tanah berpasir, hingga senja menjemputmu kembali pulang.
'Nik, liburan nanti, kamu main sini lagi, kan?' tanyaku sebelum kamu pamitan. Kamu menganguk. Lalu kita berjanji saling menggenggam rindu hingga berjumpa kembali suatu hari nanti." Lou mengakhiri ceritanya.
Tak terasa mangkuk yaminku juga telah kosong. Cerita Lou berlalu dengan cepat.
"Nik, memang sudah seharusnya kamu mengenaliku. Tapi, sudahlah. Mungkin karena terlalu lama menunggu, kamu sudah lupa aku."
Lonceng tanda istirahat berakhir. Aku dan Lou harus berpisah lagi sekarang. Meski masih banyak pertanyaanku yang belum terjawab, aku harus yakin akan satu hal.
"Lou, aku memang sedang menunggu. Dan aku tidak pernah lupakan orang yang aku tunggu." Cowok itu berdiri di depanku, masih membelakangi meja kasir. Dia menunggu.
"Tapi, kamu? kayaknya tidak mungkin orang itu kamu," lanjutku menggeleng.
Dengan kata terakhir itu, Lou terlihat tersenyum lega.
"Masih ada kesempatan untuk menemukan kembali yang hilang itu, Nik," jawabnya menyemangatiku.
"Aku ke kelas duluan, ya!" katanya cepat tanpa menunggu jawabanku. Dengan riang cowok itu melompati kursi yang tadi didudukinya lalu berlari dan menghilang berbaur ke dalam kerumunan Xo-kakel (salah satu geng cowok kakak kelas).
Aku berusaha tidak memikirkan kejadian di kantin tadi. Masih ada satu jam pelajaran terakhir yang lebih membutuhkan fokusku. Tapi nyatanya sepanjang pelajaran terakhir aku justru lebih banyak melamun alih-alih berusaha fokus pada pelajaran.
"Heh, kamu nggak pulang? Udah bel, tuh," tegur Sisi teman sebelahku sambil memasukan bukunya ke dalam tas. Mungkin sekarang aku terlihat seperti semakin menjauhi dunia sekitarku, sementara aku berjalan pulang bersama Sisi. Samar-samar kudengar dia bercerita dengan bawelnya tentang murid-murid baru yang bermunculan di sekolah hari ini. Tapi aku lebih banyak diam. Hhh, benar-benar menjauhi eksistensi. Setelah hampir seharian tidak berhasil menemukan keberadaan murid baru itu, lalu kemunculannya yang tiba-tiba di depan mejaku siang tadi, ditambah lagi dengan kisah yang diceritakannya di kantin tadi, di akhir hari ini aku merasa seperti mendapat tugas yang bertumpuk-tumpuk banyak sekali.
Aku baru saja menaiki anak tangga pertama saat aku mendengar suara dari dapur,
"Nik, habis ganti baju terus langsung makan siang, ya!"
"Ya, Mam," jawabku cepat.
Dalam satu hari, dua orang yang berbeda memanggilku dengan satu nama yang sama?
Tiba-tiba aku merasa takjub. Atmosfer penelusuranku tiba-tiba terpicu. Seperti membuka-buka kembali buku-buku lama yang lembaran-lembarannya berdebu.
BINABASA MO ANG
Chemistry di Antara Anomali
Fiksi RemajaBersentuhan dengan Keluarga Sung, Wangsa yang mewarisi darah Erlao, memberi warna tersendiri bagi hidup Nicka. Sebagai keturunan bangsawan, Liam dengan sisi tradisionalnya memesona siapa saja. Perjumpaannya dengan Nicka, membuka gerbang dua budaya...