Pewaris Darah Erlao

3 0 0
                                    

Usia, bagi penganut kepercayaan Erlao, tidaklah dihitung berdasarkan masa yang umum berlaku di zaman ini. Sehingga mereka bisa saja mengaku berusia tertentu, sesuai dengan kemampuan, bakat dan perkembangan fisik mereka.

Umur, bagi mereka tidak terikat ruang dan waktu pada umumnya. Tetapi yang lebih utama adalah mencapai kesempurnaan. Jika dalam rentang usia muda, seorang perwais darah Erlao sudah mampu mencapai Ecca, maka dia secara fisik dan spiritual boleh melanjutkan hidup pada tingkatan yang lebih tinggi. Bisa melalui kematian atau pun tanpa melaluinya. Keduanya menganut prinsip takdir terlahir kembali sebagai ciptaan baru yang lebih mulia martabatnya.

Ketika terlahir kembali, Itzu bisa kembali berwujud sebagai bayi, anak-anak, remaja, dewasa atau orang lanjut usia, tergantung tugas dan tanggung jawab yang akan disematkan oleh Erlao ke dalam pribadi baru -Itzu- yang diciptakannya itu. Daur hidup pewaris darah Erlao memang tidak akan pernah terputus, mereka akan hidup abadi selama mereka menjaga kemurnian Zen bangsanya.

Erlao sebagai pencipta, adalah roh abadi yang murah hati, lemah lembut dan bersinar dalam terang pengetahuan, kebijaksanaan dan keadilan tertinggi. Erlao dengan senang hati memulihkan hidup ciptaannya yang sengsara, hancur atau rusak, dengan syarat manusia itu mau berusaha mencapai Itzu dengan jujur dan tulus hati. Hanya dengan cara itu, daur hidupnya akan berlangsung lestari.

Hingga kini masih ada saja yang mengaku diri sebagai ciptaan Erlao yang agung. Dengan darah Erlao yang bersemayam di dalam Zen manusia, mereka berusaha hidup sebaik mungkin. Meskipun di zaman sekarang ini, mereka harus bersaing ketat dengan bangsa-bangsa lain yang menurut mereka tidak memiliki darah Erlao sebagai identitasnya.

Memang tidak mudah mencerna kepercayaan ini, jika belum pernah bersentuhan dengan salah satu Wangsa berdarah Erlao.

Kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Namun, jika seseorang dilahirkan dalam keluarga yang buruk, apakah adil jika nasibnya pun dicap sama buruk dengan keluarganya?

Makan malam yang menyenangkan. Bersama Mam dan ayah, Liam dan kedua orang tuanya. Semua orang bersikap ramah dan akrab. Suasana hangat saat santap malam itu membuat aku merasa berada di tengah keluarga yang rukun dan damai. Dari perbincangan di meja makan itu, aku mengetahui sesuatu.

Terkait urusan bisnis, Mam dan ayah rutin berkunjung ke kediaman keluarga Sung. Kami selalu ditawari salah satu bungalow terbaik milik keluarga Sungkowo sebagai tempat melepas lelah.

Mengikuti saran ayah, kami pun tidak pernah menginap di salah satu rumah mereka meskipun Mam bersahabat baik dengan Nyonya Sungkono.

Berbaurnya budaya dan keengganan mempertahankan galur murni, membuat orang jaman sekarang pada umumnya tidak peduli lagi dengan keberadaan Wangsa Sung yang hampir punah.

Salah satu keluarga modern yang masih mau bersentuhan dengan Wangsa Sung adalah Mam dan ayahku. Sejak Mam masih gadis kecil, Tien adalah teman karibnya semasa sekolah. Sekali waktu, Tien mendesak ayahnya yang ningrat itu untuk mengambil Mam menjadi saudari angkatnya. Meskipun selalu menolak dengan halus permintaan yang berharga itu, nama Mam tetap diberi tambahan 'Sung' oleh Tien dan dianggap anak terkecil dalam keluarga Tien.

Setelah menikah dengan ayah, Mam masih setia mengunjungi kediaman keluarga Sung di desa yang rata-rata penduduknya beternak dan bercocok tanam ini.

Ayah mengamati hasil kebun dan peternakan keluarga Sung adalah yang terbaik dari semua petani dan peternak yang pernah dilihatnya. Namun, penjualan hasil kebun dan ternak mereka seringkali mendapat hambatan dari tengkulak di desa itu. Oleh karena itu, mereka menjadi sulit menjual hasil kebun dan ternak. Akhirnya hasil kebun dan ternak mereka jual dengan harga sangat rendah, atau hanya untuk dikonsumsi sendiri. Banyak daging, buah dan biji-bijian yang mereka simpan dengan teknik pengawetan kuno warisan nenek moyang mereka.

Sejak aku masih sangat kecil, Mam sering menginap beberapa hari di rumah Tien untuk membantunya panen dan mengawetkan bahan-bahan pangan itu. Mam sering kali pulang membawa banyak sekali makanan hasil olahan untuk oleh-oleh. Sebagian besar memang untuk dijual di kota.

Dari kondisi yang tampaknya telah berlangsung lama ini, ayah melihat melihat peluang bisnis dengan keluarga Sung yang memiliki hasil kebun dan ternak berkualitas baik. Ayah menawarkan kerja sama dengan keluarga Tien dengan membantu pemasaran produk hasil kebun dan produk awetannya di kota. Namun, hal ini baru terlaksana saat usaha armada angkutan ayah mulai berkembang.

Sama-sama hadir ke dalam sebuah keluarga yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, mungkin dia hanya lebih beruntung, karena mempunyai orang tua yang memberinya kelonggaran dan fasilitas yang cukup sebagai pendukungnya.

Berbeda dengan sepupunya yang agak liberal dalam banyak hal. Wiliam sebagai keturunan bangsawan, dalam keluarganya mendapat didikan lebih ketat . Lahir dan hidup dalam lingkaran Wangsa Sung menuntut penerusnya lebih dari sekadar 'bisa'. Tak heran, jika Wiliam dan Chandra-sepupunya- tampil 'lebih' dari anak-anak seusianya.

Mereka dijejali berbagai pengetahuan, beragam jenis latihan fisik yang tak lazim di zaman seperti sekarang ini, mereka pun dituntut mampu menguasai salah satu bidang seni dan budaya. Selain itu, mereka juga belajar menggunakan minimal dua bahasa asing. Semua itu diajarkan sejak mereka masih sangat kecil.

Seperti halnya adik perempuan Wiliam yang saat ini dalam bimbingan tiga orang guru privat yang berbeda-beda untuk masing-masing ilmu yang harus dikuasainya. Kenyataannya, gadis kecil itu, baru akan masuk sekolah dasar tahun depan.

Beratnya tuntutan pendidikan yang harus dijalani Wiliam, sering kali membuatnya tidak punya waktu sekadar untuk menyenangkan dirinya sendiri. Itulah yang membuat dirinya selalu tampak serius dan jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Keaadaan ini sering dijadikan bahan olok-olok bagi Chandra dan geng bandelnya.

Kejadian seperti di perkebunan tebu waktu itu, bukanlah hal baru bagi Wiliam. Mereka memang sering berbuat begitu hanya untuk bersenang-senang. Belakangan, aku baru tahu bahwa Chandra memang sengaja membuat skenario untuk menakut-nakuti aku, anak kota yang baru sekali itu berkunjung ke desa mereka.

Dengan gaya noraknya mereka mau menunjukkan kalau anak desa tidak kalah dari anak kota. Selain itu, Chandra memang sudah sejak lama mengincar Wiliam untuk dijadikan bahan tertawaan.

Mereka memang tidak pernah bersahabat. Tetapi Chandra adalah saudaranya. Tak dapat dipungkiri, rasa persaudaraan masih lebih kuat. Mengalahkan gejolak persaingan yang sengit.

Wiliam dengan latar belakang keluarganya yang tradisional, memilih melanjutkan pendidikan di sekolah lokal. Sementara Chandra, oleh orang tuanya didaftarkan ke sekolah yang letaknya jauh di luar kota.

"Agar belajar menjadi seperti orang kota," katanya. "Dan mengalahkan mereka," tambahnya. Chandra memilih tempat pendidikan lanjutannya di salah satu sekolah terbaik. Ya, dia bersekolah di kota kelahiranku. Aku mengenal siapa sebenarnya Chandra, setelah dia duduk di bangku kelas dua, karena ruangan kelasnya terletak persis di atas ruang kelasku!

Chemistry di Antara AnomaliTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon