Berkat dari Langit

5 0 0
                                    


Benarkah belas kasih membawa berkat bagi semua orang? Tidak hanya bagi mereka yang menerimanya, berkat juga dirasakan oleh mereka yang memberikannya.

Bagai berkat dari langit, air sungai selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ia tidak akan pernah kuatir kehabisan air, selama ada berkat yang diperoleh dari tempat yang lebih tinggi;

hujan.

Meski terus menerus mengalirkan airnya ke tempat yang lebih rendah, ia tidak pernah risau, karena ia akan selalu diisi kembali oleh air yang sejatinya berasal dari tempat yang lebih tinggi;

langit.

Tidak peduli sungai itu kotor atau bersih, ia akan tetap mengalirkan airnya ke tempat yang lebih rendah. Sementara langit tidak pernah lupa menurunkan hujannya. Karena hujan pun tidak pernah pilih kasih terhadap sungai mana yang akan disiraminya. Entah itu sungai bersih maupun sungai kotor, tak terkecuali, semua mendapat curahan air dari langit. Hujan yang turun dari langit selalu mencurahkan air yang bersih.

Akan tetapi, tidak selalu demikian setelah sampai pada aliran sungai. Ada saja sungai yang tercemar sehingga mengalirkan material berbahaya bagi tempat di bawah yang akan dialirinya. Apakah itu salah sang hujan?

Apakah jika kondisi sungai telah tercemar, hujan kemudian tidak turun ke atasnya, supaya tidak mengalirkan bencana? Tidak. Hujan, dengan senang hati tetap turun kepada sungai. Ia tidak akan pilih kasih. Ia hanya hadir pada waktu yang telah ditetapkan.

Hujan selalu berharap, apa yang diberikannya dari langit selalu menjadi berkat bagi sungai. Bagi sungai yang airnya kotor maupun sungai yang airnya bersih, hujan hanya selalu berharap curahan air dari langit mampu membasuh segala kekotoran, melarutkan segala kecemasan, menyucikan segala sesuatu yang dicurahinya.

Janganlah terlalu memuja sungai. Ia hanyalah saluran. Bersyukurlah atas kasih Sang Penyelenggara Kehidupan;

Sang Pencipta.

Kala itu, sebuah kisah lain dituturkan ayahnya di suatu senja berlatar langit oranye. Liam teringat perseteruan ayah dan pamannya yang congkak itu masih seperti bara dalam sekam.

"Ayah," panggilnya pelan. "Mengapa paman tidak seperti ayah?"

"Seperti apa maksudmu, Nak?"

"Seperti Ayah yang bijaksana."

"Umurmu baru lima, Nak. Masih panjang perjalananmu untuk sampai pada bijaksana." Liam merasa ayahnya menghindari pembicaraan tentang pamannya.

"Ayah, mengapa paman tidak bijaksana?" kejar Liam. Pertanyaan yang telak mengenai sasaran. Agak lama, orang tua itu lalu menjawab tudingan cerdas putra kesayangannya,

"Tentu saja pamanmu itu bijaksana ...." Kata-kata itu menggantung dengan pandangan lurus ke arah Selatan, tempat mereka dulu melewatkan masa kecil yang ceria bersama-sama.

"Setidaknya demi keluarganya," tutupnya.

Ini merupakan hari yang berat bagi kedua lelaki beda usia itu. Liam baru saja selesai latihan bela diri dengan guru wushunya. Salah satu keterampilan yang perlu dikuasai oleh putra-putri keturunan Sung demi kelangsungan hidup mereka.

Hari ini Liam berhasil mengendalikan Zen dan menyalurkannya ke dalam satu jenis jurus mematikan. Teknik wushu untuk bertahan sekaligus menyerang diam-diam yang dilakukannya, mendapat pujian dari gurunya.

Sebuah teknik baru diciptakan oleh seorang bocah berumur enam tahun! Gurunya merasa takjub. Dia bertepuk tangan saat mengapresiasi. Namun, kecerdasan itu segera mendapat cercaan dari sepupunya yang hampir menjadi sasaran jurus baru itu.

Chemistry di Antara AnomaliTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon