o0oMereka bertatapan.
Entah apa yang ada di pikiran Bujang. Wajahnya sulit dibaca. Pria itu menyipitkan mata. "Apa maksudmu, kampung halaman?"
Maria menghela napas. "Aku-"
Belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya, seseorang memasuki kamar. Suara gebrakan pintu membuat keduanya tersentak.
Tubuhnya tinggi, penuh bekas luka yang amat mudah disadari keberadaannya, aura mencekam dari pria itu membuat kedua bangsawan menahan napas. Dia mengenakan pakaian yang terlihat formal (walau di tanah buangan seperti ini, semua pakaian bagaikan jahitan perca butut yang dibuang penjahit ibukota), sepertinya seorang prajurit atau tukang pukul mereka.
Tanpa basa-basi, dicabutnya sebilah belati dari kantung yang melintas di dadanya. Bujang berkelit, waspada mengira benda tajam itu akan mengenai kulitnya. Maria menutup matanya, bersiap akan kemungkinan terburuk.
Namun, tidak terjadi apa-apa.
"Hoila! Kenapa tidak ada yang bilang jendela kamar ini dipenuhi anulata? Mengganggu sekali. Kamu pasti kesulitan mendapat sinar matahari. Harusnya sampaikan saja pada Vik, jangan malu-malu."
Si prajurit preman tadi bilang apa?
Maria dan Bujang saling menatap, lalu perlahan melirik tamu tak diundang mereka.
Belati tadi tak digunakannya untuk melukai Bujang, si tersangka yang posisinya rentan ini. Maupun Maria. Si prajurit bersiul-siul dengan suara seraknya, santai memangkas tumbuhan rambat-yang ia sebut-sebut sebagai anatula di jendela kayu. "Walau musim dingin seperti ini, saljunya tak banyak dan mentari masih muncul lama. Harus banyak berjemur! Jangan sampai mati kedinginan."
Situasinya jadi terasa seperti seminar kesehatan.
Maria berdeham. "Ehm ...Terima kasih atas perhatiannya. Namun jika boleh tahu, apa gerangan datang ke sini?"
Sementara sang putri mencoba mengorek jawaban, Bujang menatap seksama anatula yang berserak di lantai. Memang, dia juga sadar jendela kayu reyot itu akan sulit dibuka karena dipenuhi tanaman rambat yang tidak diatur. Permasalahan yang sama seringkali terjadi di talangnya, dengan ara pencekik yang menyebalkan.
Si prajurit menoleh ke arah mereka berdua, sepertinya mencoba tersenyum, namun gagal karena wajahnya terlanjur seram permanen. "Tsan Eva memanggil kalian. Vik tidak tahu kenapa. Mungkin Tor tahu."
"Siapa Tor? Arwah peliharaanmu?" Bujang berceletuk. Prajurit ini sepertinya punya IQ anak kecil, atau memang idiot dari sananya. Tak jarang ditemui di tanah buangan perang. Otak manusia sana banyak yang error.
"TUTUP MULUT!"
Sial, kali ini benar-benar ada belati yang melayang di depan wajahnya.
Bujang berseru tertahan, terkejut. Refleks menghindar dari serangan mendadak itu, bergegas bangkit dari tempatnya duduk lalu menyambar belati tadi yang menancap pada dinding kayu. Menatap buas penyerangnya.
Seorang pria mirip Vik, namun dengan wajah yang jauh lebih menyeramkan, badan besar beserta luka-luka yang sekilas terlihat masih basah. Dia ikut memasuki ruangan, menggeram. "Kau, jangan coba-coba sebut namaku dengan mulut kotor itu. Beraninya masih berdiri tegap setelah mengancam hidup Kepala Pemburu."
"Halo, Tor. Kalian yang mengancam nyawaku lebih dulu. Berharap apa? Menjadikanku mangsa? Kalian salah target."
Tor menggeram lagi. Bujang yang masih fokus melindungi diri jadi teringat sesuatu. Memorinya perlahan memulih, menceritakan detail. Suara geraman itu mirip "monster" yang menyerangnya semalam. Sepertinya dia dan Vik adalah bagian dari pemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐑𝐎𝐍𝐄 ⛓️ | MARIAGAM
Fanfictiono0o "𝘑𝘶𝘴𝘵 𝘧𝘰𝘳 𝘴𝘪𝘹 𝘮𝘰𝘯𝘵𝘩𝘴, 𝘓𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦𝘱𝘪𝘨. Kita hanya harus bersama sesingkat itu. Sampai perang ini reda dan singgasana itu milikku. Lantas kau bisa bebas, pergi kemanapun. 𝘋𝘦𝘢𝘭?" "Dengan syarat bahwa Anda akan menganggap ser...