8. Unexpected

308 27 9
                                    

o0o

"Kau mencoba membunuhku?"

Bisikkan Maria terdengar sinis di antara dersik angin musim dingin. Wanita itu menatap hina pemuda di hadapannya. Amarah membuatnya lupa keadaan mereka yang tengah bergelantung di ambang kematian.

Tadi itu amat fatal. Dia terpeleset saat memeriksa jalan di atas. Tebingnya tak begitu tinggi, tak lebih dari dua meter, namun cukup untuk membuat sendi kakinya terasa sakit. Belum lagi otot badan yang masih kaget tertimpa beban dari separuh tubuh sang Pangeran Tong yang mendarat padanya.

Jalan yang mereka gunakan tadi sebetulnya jalan di atas sebuah bukit, yang mana langsung mengarah pada sebuah hutan yang dilindungi. Antara tebing itu dan hutan di bawahnya, ada sebuah lereng.

Dalam kondisi terjebak antara bagian landai dan tanah miring, keduanya mencoba berkomunikasi sebisa mungkin dengan Thomas di atas sana. Konsultan keuangan itu akan meneruskan perjalanan ke tempat tujuan mereka, mencari bantuan. Sedangkan Maria dan Bujang akan mencoba bertahan menunggu proses evakuasi.

Kaki Maria terluka. Mereka tak bisa terus berdiri di sana terus-menerus sampai Thomas datang. Dan entah apakah badai salju akan kembali menghantam. Lalu dengan peralatan seadanya yang dilemparkan Thomas, Bujang memasangkan tali pada pinggang mereka berdua, lantas perlahan menuruni lereng bukit itu. Permukaannya amat licin berkat cuaca dingin. Tak ada teknologi semacam jalur anti es atau jalan setapak VIP, mereka sudah memasuki daerah yang sengaja dibiarkan menyepi dari peradaban.

"Aku? Kau yang menarik tanganku." Bujang melotot. Merebahkan tubuhnya di rerumputan. Ini masih terhitung siang menuju sore, tapi kondisi hutan sudah mulai gelap saking lebatnya. "Terima kasih ya, sekarang kita jatuh bersama entah di mana. Sungguh romantis."

Maria tak langsung merespon sarkasme pria itu. Menatap nanar kakinya. Rasa sakit menusuk. "Kau punya kasa steril?"

Sendi kakinya mungkin mengalami dislokasi, atau setidaknya dislokasi. Dengan sigap gadis itu membaringkan tubuhnya, melaksanakan imobilisasi agar cederanya tak melukai semakin parah. Maria meringis. "Punya tidak?"

Bujang terdiam, berpikir sejenak. Lalu merogoh tas logistik dari Thomas. Mengeluarkan kotak medis, yang beruntungnya tak begitu kacau isinya. Meraih sebuah kotak berisi gulungan plester kain penutup luka. "Gunakan ini dulu."

Belum sembuh yang di betis, sudah ada luka baru lagi. Maria menghela napas. Plester kain
dengan obat-obatan ini seharusnya bisa meredakan rasa sakit sejenak, memang dirancang untuk situasi darurat.

"Aku tidak bisa berjalan."

Mereka bersitatap. Saling mengerti bahwa ini persoalan serius.

Maria menggigit bibir. "Sepertinya kita harus menunggu di sini sampai Thomas kembali."

Lawan bicaranya menggeleng pelan. "Setidaknya aku harus pergi. Mencari beberapa kayu bakar, atau jika beruntung, sebuah pemukiman yang baik."

Sang putri terlihat ragu. "Bujang, ini hutan yang dilindungi pemerintah. Entah karena apa. Bisa saja banyak hewan buas atau danau dan sungai beracun akibat limbah. Kau bisa saja-"

"Makin terluka? Oh, aku baru tahu kau mulai mengkhawatirkanku," cibir Bujang. Sikap menyebalkannya kembali.

Pipi Maria menggelembung. Pria ini kadang lembut kadang arogan."Sok tahu. Aku hanya bersikap rasional, seperti seharusnya."

"Kau bersikap perhatian."

"Astaga-" Maria melotot. "Ya sudah, sana pergi. Kudoakan kau bertemu harimau Bratva di rimba, mereka terkenal kuat."

"Harimau Bratva hampir punah kan?"

"Yeah, seperti akhlakmu," balas Maria. "Pergilah. Atau kau takut gelap?"

𝐓𝐇𝐑𝐎𝐍𝐄 ⛓️ | MARIAGAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang