7. The Second Route

267 29 1
                                    

o0o

Rumah besar Costello nampak suram pagi itu.

Dahulu tembok putihnya sungguh nirmala, terlihat cemerlang bak mutiara. Amat serasi dengan kejayaan mereka. Sebuah keluarga bangsawan yang walau gelarnya tak begitu tinggi, mereka punya martabat dan bisnis dengan laba yang cukup tinggi.

Keluarga ini adalah definisi sebuah mercusuar untuk lautan perdagangan negeri sejak generasi pertama. Mendirikan gedung-gedung tinggi, mengatur jalannya berbagai industri, bahkan menguasai kepemilikan beberapa marketplace online. Semua itu tadinya akan diwarisi Theodore.

Lady of the House, Serena Costello, telah lama wafat. Cahaya di rumah seakan berkurang selapis ketika wanita penuh kasih itu meregang nyawa. Menyisakan Sang Baron dan dua putra mereka. Satu menyandang nama Theodore, dan adiknya, Aiden.

Aiden James Costello, yang kini tengah menyapukan netranya ke bingkai besar di tengah ruangan. Menatap sepasang mata yang terlukis apik di sana, iris cokelat madu ibunya yang ia warisi.

"Selamat siang, Ibunda." Ia memaksakan sebuah senyum, walau suara lelaki muda itu sedikit bergetar berkat kesedihan. "Apa Kakak sudah tiba di sana? Sudah bisa engkau peluk lagi?"

Kakak laki-lakinya, putra sulung Costello, telah tewas kemarin malam. Dan baru kemarin pagi mereka mendapat kiriman. Sebuah kotak mengerikan yang menghantuinya sampai sekarang. Baru kali ini Aiden melihat ayahnya tersedu-sedu bersimpuh di lantai karena melihat isi paket. Tak heran, kiriman misterius itu berisi potongan kepala membeku dengan wajah anak pertamanya yang kabur dari rumah berbulan-bulan lalu. Tak ada tulisan pengantar apapun, hanya aura kejam yang ikut dipaketkan. Amat mengerikan. Benar-benar menusuk hati mengetahui kondisi kakaknya.

Aiden menggigit bibir, memandang lantai. Bahaya macam apa yang menghabisi Kak Theodore sebengis ini? Sinar kebahagiaan rumah ini telah lama memudar, dan kian berkabut saat almarhum minggat.

Dan sekarang? Entahlah, bahkan ruangan ini pencahayaannya remang-remang. Hujan di luar juga mendukung kegelapan.

Bangsawan muda itu menatap potret Lady Serena sekali lagi, menunduk hormat, lalu menuruni tangga menuju aula rumah yang dijadikan tempat berduka. Ini hari kedua setelah mayat Theodore tiba. Suasana kelam yang ia alami saat ibunya meninggal dulu, kini terulang lagi.

"Ah, ini dia yang kita tunggu. Kemari, Nak."

Suara JJ Costello menyambutnya. Wajah menyenangkan yang berhias kerutan menua sisa-sisa stres ayahnya itu terlihat ceria seperti biasanya. Menyambut tamu dengan baik, walau baru saja mengalirkan sungai air mata sejak kemarin.

Hari ini acara pemakaman kakaknya. Ada banyak tamu di bawah. Beberapa dari kalangan bangsawan, walau tak banyak, ah siapalah keluarga Baron ini bagi mereka? Lebih banyak pedagang asal desa yang dahulu akrab dengan ibunya, juga kolega-kolega bisnis Ayah. Toh keluarga mereka memang lebih cocok disebut pedagang sejati daripada bangsawan atau orang-orang ningrat.

Aiden menelusuri rombongan tamu. Matanya membelalak saat melihat sosok yang tak disangka-sangka oleh dirinya. Demi Tuhan, Sang Raja betulan ada di rumahnya sekarang?

"S-selamat datang, Baginda. Sebuah kehormatan bagi keluarga kami untuk menyambut Anda di sini," ujarnya. Buru-buru menunduk sembilan puluh derajat penuh hormat. Menghampiri tamu istimewa itu.

Raja agung Tong itu memang tak segagah pemimpin-pemimpin pada umumnya, namun otak dan ambisinya luar biasa. Strategi tak terkalahkan. Dia juga merakyat dan menganggap seluruh bawahannya seperti keluarga, walau tentunya tetap profesional. Sebagai pebisnis, Aiden tahu persis hal-hal seperti itu amatlah berguna dan bisa menjadi senjata bagi pedagang. Ayahnya seringkali berkata begitu.

𝐓𝐇𝐑𝐎𝐍𝐄 ⛓️ | MARIAGAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang