o0oAlangkah kontras.
Suara penuh bising dari rombongan wartawan, tawa renyah para tamu, kelip lampu kristal, serta suara instrumen yang seakan mengisi udara diantara hadirin.
Para undangan berbondong-bondong memasuki ruangan. Kebanyakan datang sebagai wali rumah atau klan masing-masing. Mengenakan pakaian tradisional khas kerajaan mereka, saling menyapa dan tertawa sembari menyeruput anggur kualitas terbaik.
Semacam nampan robotik tipis yang diprogram khusus melayang mondar-mandir ruangan, membawakan piring kecil kudapan untuk mereka yang tidak ikut berdansa. Ruangan berdesain kuno itu terasa hangat, membuat penghuninya seakan lupa akan salju tebal di luar.
Alangkah kontrasnya suasana menyenangkan itu dengan atmosfer diantara pasangan baru yang masih berdansa itu. Hanya ada ketegangan diantara mereka.
"Ayo akui. Kau yang menyelinap tak hormat ke ruangan latihanku." Bujang bertanya perlahan, dengan nada mengancam. Sedari tadi ia menahan amarah. Cengkraman pada pinggang tunangannya mengencang.
Dia merasa dipermainkan.
Maria terdiam. Perubahan suasana di antara mereka membuatnya sedikit gugup. "Aku.."
Mata merah Si Babi Hitam tidak mengganggunya untuk waktu yang lama, dalam sekejap sudah kembali ke wujud semua yang dikenalnya, hitam legam. Entah apa si empunya netra sadar, atau itu memang teknik khusus milik sang pangeran, bisa jadi juga delusi semata berkat keterkejutan Maria.
Menyadari situasi canggung nan membingungkan masih terasa pekat di antara keduanya, Maria berdeham. Mencoba mengalihkan fokus Bujang dari masalah mereka. Yang lebih mendesak itu adalah pesta dansa sekarang.
Beberapa orang mulai menyadari gerakan mereka yang seakan mengabaikan irama musik.
"Aku yakin itu bukan cara paling tepat untuk bicara pada seorang lady, Your Highness. Kecuali kau menyukai resiko hukuman atas pasal penghinaan anggota kerajaan." ujar Maria lugas, mencoba tersenyum.
"With all respect, aku tidak bermaksud menghina putri Bratva. Aku yakin terlihat jelas bahwasanya kata-kata kasarku tadi ditujukan untuk si penyusup rendahan. Dalam artian lain, Anda," ia menyeringai, meniru gaya bahasa Maria.
"Apa Anda selalu se-menyebalkan ini, Pangeran Agam?"
"Hanya kepada orang yang juga menyebalkan, Tuan Putri."
Maria tertawa getir. Tidak langsung menjawab tuntutan itu, mengayunkan badannya seiring nada lagu. Memelankan suaranya. "Hei, babi hutan. Aku tahu persis pertemuan pertama kita tidak berlangsung dengan baik, dan mungkin sudah tak terhitung berapa kali kau memakiku dalam hati soal perjodohan ini, tapi mari bicarakan semua ini secara baik-baik,"
Karena asal kau tahu, kita sebenarnya bukan musuh untuk satu sama lain." lanjutnya, berbisik, berharap lawan bicaranya bisa menenangkan diri.
Bujang menatap penuh selidik sepasang manik biru dihadapannya. Dia sudah cukup lelah dengan kejutan bertubi-tubi, rencana rencana konyol, dan sindiran kasar dari wanita berambut pirang itu. "Baiklah, putri tirani. Jelaskan maksud perkataan anehmu sekarang."
Yang ditatap membalas dengan sorotan tak kalah menantang. Beraninya pemuda ini mengatainya putri tirani, seperti lupa diri siapa ayah angkatnya. Menghela napas, Maria melanjutkan kata-katanya. "Tidak di sini, bodoh. Temui aku besok di-"
PRANGG!!!
Bunyi logam berjatuhan menggema di langit langit ruangan.
Sebelum gadis pirang itu usai mengungkapkan kalimatnya, serangan kejut lebih dulu menghampiri keduanya. Maria bisa melihat ayahnya buru-buru mendatangi area dansa dari bangku, disusul Tauke Besar. Orkestra terhenti, digantikan suara histeris penuh makian dari asal keributan. Ada kecelakaan kecil di bagian kiri aula.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐑𝐎𝐍𝐄 ⛓️ | MARIAGAM
Fanfictiono0o "𝘑𝘶𝘴𝘵 𝘧𝘰𝘳 𝘴𝘪𝘹 𝘮𝘰𝘯𝘵𝘩𝘴, 𝘓𝘪𝘵𝘵𝘭𝘦𝘱𝘪𝘨. Kita hanya harus bersama sesingkat itu. Sampai perang ini reda dan singgasana itu milikku. Lantas kau bisa bebas, pergi kemanapun. 𝘋𝘦𝘢𝘭?" "Dengan syarat bahwa Anda akan menganggap ser...