3. Si Vis Pacem, Para Bellum

438 47 23
                                    

o0o

"Kau masih marah?"

Tauke Besar membuka percakapan.

Sudah beberapa menit berlalu sejak mereka berangkat dari Menara Perak menuju Balai Platina--bagian utama Istana Bratva yang menjadi tempat diadakannya pesta malam ini.

Komplek kastil memang terbagi menjadi beberapa bagian, digolongkan dengan nama-nama logam mulia. Tidak butuh ahli tafsir untuk menyatakan bahwa raja-raja terdahulu terinspirasi dari bisnis senjata mereka. 

Mobil yang rombongan Kerajaan Tong gunakan untuk menghadiri acara pertunangan adalah model terbaru, tanpa roda, menggunakan energi magnetik, dengan desain elegan.

Hanya orang-orang kalangan tertentu yang berkesempatan memiliki koleksi mewah dari merk kendaraan elite itu. Kali ini mereka menggunakan versi modifikasinya, biasa dimiliki para petugas militer. Dilengkapi ratusan pelontar senjata kecil mirip peluru. Kecanggihan produk Bratva memang tidak ada duanya.

Kembali lagi ke percakapan ayah-anak bangsawan kerajaan peranakan nusantara tadi. Si pangeran menoleh ke samping, mobil itu hanya diisi 5 orang, dan mereka berdua ada di middle row. Memberi siratan mata heran kepada Tauke Besar yang tersenyum tipis.

"Tidak. Aku bahagia sekali, rasa-rasanya aku bisa membelah bumi saking senangnya, Your Majesty. Sungguh sebuah kehormatan bisa menjadi pion ambisi Anda," lawan bicaranya mendengus. Menambahkan sirat sarkasme dalam ucapannya. 

Tauke terkekeh, mata sipitnya kian menyipit saat tertawa. "Rupanya kau masih marah."

Bujang mengalihkan pandangan. Siapa sih yang tidak akan marah ditunangkan secara paksa, dengan seorang putri kerajaan rival, yang bahkan wajahnya saja hanya pernah ia lihat dari layar gadget. Merenggutnya dari kebebasan, hal favoritnya.

Tapi menolak titah ayah angkatnya adalah dosa bagi pangeran malang itu. Sebuah kecacatan dari sikap sempurna yang harus ia tampilkan sebagai wujud terima kasih. Se-menyebalkan apapun raja itu, Bujang masih punya cukup akal sehat untuk mengingat bahwa beliau lah cahaya yang membantunya berlari, pergi jauh dari kegelapan.

"Well, maaf soal perencanaan yang mendadak ini. Percayalah, aku sudah mencoba memberi keleluasaan, menunda acara dan sebagainya. Sampai meminta tolong Tuan Salonga yang sedang ada di Bratva untuk mengobrol dengan Yang Mulia Otets," ujarnya. Melunakkan sedikit kata-katanya.

"Tapi takdir sudah menentukan kesialanmu. Maka di sini lah kita, menuju ballroom utama acara pertunangan. Tapi dengar saja dulu, semuanya ada alasan, heh."

Ia menghela napas. Menatap Tauke, kali ini sepenuh hati mendengarkan. Apa yang ingin kau sampaikan? Begitu maksud tatapan Bujang.

Orang tua berjubah merah itu tersenyum tipis. Mata sipitnya menjelajahi luar jendela. Pemandangan indah. Bratva sedang memasuki musim salju. "The Throne War akan segera tiba, kau pasti tahu itu,"

Hati Bujang seakan dicelup ke air dingin mendengar kata-kata Tauke Besar. Throne War. Yakni perang yang selalu pecah untuk memperebutkan singgasana kaisar. Salah satu topik pembicaraan yang ia hindari. "Iya. Viscount Mansur memberi beberapa prediksi, perang itu tidak lama lagi. Masih ada waktu memcegahnya, bukan?"

"Sudah kuduga. Kau selalu begitu, alih-alih membicarakan bagaimana menghadapinya. Mencegah adalah pilihanmu,"

"Apa yang salah dari mendamba kedamaian?"

Tauke Besar menatap tajam putra angkatnya. Yang dibalas sorot tak kalah menantang walau masih diimbangi hormat. "Si vis pacem, para bellum. If you want peace, prepare for war, Si Babi Hutan. Segala hal ada harganya."

"Berapa sih harganya? Sini kubeli," celetuk yang ditatap asal. Bergurau, menutupi kekesalannya.

"Bujang! Astaga. Alangkah bebalnya anak satu ini. Bisa-bisanya aku belum gila menghadapimu."

𝐓𝐇𝐑𝐎𝐍𝐄 ⛓️ | MARIAGAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang