6. A Bad Start

238 30 16
                                    


o0o

Hei, ternyata tak ada acara sarapan pagi ini.

Hanya ada murka raja ratu undangan, ketegangan, kecurigaan, serta ketakutan yang menggelayut di udara. Setiap mata memandang cemas dibalik kesunyian. Beberapa menghela napas. Suasana ruang jamuan terasa sedingin badai salju yang baru Maria dan Bujang lewati.

"Apa yang terjadi?" si pangeran mendesis, mencoba tak memecah ketegangan dengan pertanyaan yang memancing kerusuhan. Basyir yang menyambut mereka ke ruangan menggeleng, isyarat bahwa ini situasi yang amat buruk.

"Raja Hantu berulah lagi," bisiknya.

Wajah Bujang mengeras. "Siapa korbannya?"

Pantas saja para tamu kehilangan selera berpesta mereka. Raja Hantu, alias panggilan yang beredar untuk pembunuh misterius Master Dragon. Ini pembantaian kedua bagi kaum bangsawan. Siapapun di balik ini, pasti mendamba tragedi adu domba antar kerajaan.

Throne War benar-benar sudah dimulai.

Basyir mendengus. "Ini jelas-jelas peringatan untuk kerajaan kita, si dedemit sialan itu membunuh putra sulung Baron Costello. Salah satu pebisnis ulung Tong yang diberi gelar bangsawan sejak generasi ketiga."

Maria terkesiap. Dia baru mengetahui kabar ini. Bangsawan Tong? Berarti ...

Berarti kecurigaannya beberapa hari lalu tentang kehadiran Raja Hantu di istana tunangannya itu bukanlah halusinasi semata. Mereka memang mengincar kematian seseorang dari naungan Tauke Besar.

"Sir Theodore yang dinyatakan hilang beberapa bulan lalu?" lirih Bujang. "Aku lumayan dekat dengan adiknya, Aiden. Astaga, ini sungguh payah. Apa kabar Tauke?"

"Aku sampai lupa." Prajurit itu menyeringai. "Baginda menyuruh Anda kembali ke Menara Perak, banyak yang harus dibincangkan. Beliau tadi mencari kemana-mana. Tapi kubilang Pangeran Agam sedang sibuk, jadi aku disuruh menunggu di sini. Siapa tahu Anda muncul,"

Tanpa bicara sepatah kata pun, Bujang kembali ke pintu yang masih separuh terbuka. Mengangguk permisi sekilas pada Maria. Basyir mengikutinya setelah menunduk hormat.

Sang putri Bratva melepas oklovanya. Menyerahkan pakaian itu pada seorang pelayan yang melintas, minta tolong dikembalikan ke kamarnya. Menyisakan gaun ungu santai pendek dan stocking hitam. Maria menghela napas, memastikan penampilannya cukup baik untuk bergabung ke meja makan.

Ratu Ayako adalah orang pertama yang tersenyum menyambutnya. Walau senyum itu bagai mentari diselimuti kabut. "Selamat pagi, Your Highness. Senang melihatmu bergabung."

"Pagi, Ratu Ayako. Maafkan keterlambatan saya." Maria balas tersenyum. Menyapa sisa tamu di sana.

Semua orang tak terlihat amat berselera menyantap hidangan yang terhampar. Thomas mengaduk pelan sup, wajahnya terlihat seperti memikirkan banyak hal.

Beberapa detik berjalan damai saja, sampai Kaeda menghentakkan sendoknya ke meja. Wajah putri satu itu dipenuhi amarah. "Apa kita semua akan berdiam diri di sini tanpa berkata sepatah pun soal kabar buruk tadi? Apa komunitas ini memang segentar itu pada kematian seseorang?!"

"Putri Kaeda," ayahnya berdesis menegur, intonasinya dingin. "Jaga sopan santunmu, putriku. Kita pasti akan bergerak. Namun bukan sekarang. Terlalu riskan."

"Kapan, Ayahanda?" Wanita yang biasanya tenang dan anggun itu menghela napas kasar. Dia sudah berdiri dari kursinya. "Sampai semua bangsawan habis diseret ke dunia sang hantu? Sampai salah satu dari putrimu dipenggal, baru kita akan mencari solusinya?"

Raja Hiro berdeham. "Duduk, Kaeda. Gunakan akal sehatmu. Dalam kondisi badai salju dan kecemasan dimana-mana, apa sebenarnya yang harus kita lakukan? Menunggu waktu yang tepat untuk menyerang balik adalah jalan terbaik."

𝐓𝐇𝐑𝐎𝐍𝐄 ⛓️ | MARIAGAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang