"Dari mana kamu?" tanya Dimas kepada Aldo.
Dimas bertanya dengan suara yang cukup keras kala melihat anaknya Aldo pulang ke rumah, pasalnya dalam situasi saat ini, anaknya itu masih bisa keluar rumah dengan santainya, padahal keadaan keluarga mereka sedang tidak baik-baik saja.
Reni yang mendengar suara keras suaminya langsung keluar dari dalam kamar tempat dimana Zilia berada, Reni cukup terganggu dengan suara suaminya itu, Zilia sedang istirahat jadi akan sangat mengganggu kalau ada keributan dirumah.
Akhir-akhir ini kondisi keluarga mereka memang tidak baik-baik saja, suasana rumah terasa semakin panas setelah kejadian yang menimpa Zilia beberapa waktu silam, hampir semua penghuni rumah menjadi orang yang bersumbu pendek, mudah marah.
"Pah! Kenapa teriak-teriak? Zilia lagi istirahat, jangan ganggu." Reni menegur suaminya itu.
"Papa cuma nanya Aldo habis dari mana, gak lebih," balas Dimas.
"Emangnya Aldo habis darimana pah?" tanya Reni.
Dimas menggedigkan kedua bahunya. "Gak tau. Aldo juga belum jawab."
Lantas, Reni menoleh ke arah Aldo. "Memangnya kamu habis darimana? Jangan keluyuran tidak jelas, kondisi keluarga kita itu lagi tidak baik-baik aja, sayang."
"Iya mah. Aldo paham kok, Aldo cuma keluar sebentar, habis ngehajar Agil sedikit," balas Aldo santai.
"Apa?"
Reni dan Dimas sedikit terkejut. Reni menatap Aldo lalu beralih ke arah Dimas, begitu juga sebaliknya, Dimas menatap sebentar ke arah Reni lalu meneruskannya ke arah Aldo, lalu setelah itu terbahak lepas.
Dimas sangat bangga dengan apa yang Aldo lakukan, itu cukup mewakili kebenciannya, Reni sebagai istri hanya bisa geleng-geleng kepala, watak ayah dan anak sama saja.
"Haha... Bagus. Tindakan kamu sangat bagus, di banding penderitaan yang kakak kamu alami, itu hanya sebagian kecilnya saja," balas Dimas, menepuk pundak Aldo.
"Iya pah. Aldo benci banget sama Agil, gara-gara dia, kak Zili menderita seperti ini."
"Ya. Kalau papa jadi kamu juga, papa akan melakukan hal yang sama, papa tidak akan mengampuni siapa pun yang sudah menyakiti keluarga kita."
"Pah! Aldo! Jangan keterlaluan, jangan menambah-nambah masalah untuk keluarga kita," tegur Reni memperingatkan.
"Engga mah. Itu hanya hal kecil kok, Agil gak berani macam-macam sama kita, dia gak bakal berani laporin hal gitu ke polisi," balas Aldo.
"Ya itu benar. Kalau tuh anak berani macam-macam, papa tidak akan tinggal diam. Masih mending dia engga papa laporin ke polisi gara-gara ulahnya itu, kalau papa tega tuh anak udah membusuk di penjara dari kemarin-kemarin," timpal Dimas.
Reni menghela napas pelan. "Mama tau, mama cuma mengingatkan kalian, jangan tambah masalah yang dapat mempengaruhi kondisi Zilia, kalian berdua harusnya lebih memperhatikan kondisinya dari pada peduli sama hal remeh seperti itu."
"Iya mah. Kami paham kok," balas Dimas dan Aldo bersamaan.
Reni menghela napas kasar, tidak bisa berbuat apa-apa dengan yang sudah terjadi kepada putrinya, ia hanya bisa mengeluh dalam hati sembari menyalahkan dirinya sendiri, Reni merasa gagal menjadi seorang itu, tidak bisa menjaga kehormatan sang putri tercinta.
Reni mendudukan bokongnya ke atas sofa, memijit-mijit kepalanya yang cukup pusing, tentu hal itu membuat Dimas dan Aldo hawatir, mereka berdua mendekat dengan cepat.
"Mah! Mama kenapa?" tanya Dimas hawatir.
"Iya. Mama kenapa? Mama pusing?" sambung Aldo ikut bertanya.
"Mama tidak apa-apa. Mama cuma merasa sudah gagal menjadi seorang ibu," balas Reni, tanpa sadar air matanya mengalir.
"Mah! Mama jangan bicara seperti itu," tegur Dimas dan Aldo.
"Haish... Kenapa semua ini terjadi kepada keluarga kita! Sekarang, bagaimana nasib Zilia kedepannya!" ucap Reni lemas.
Dimas memeluk erat tubuh sang istri, tidak banyak yang bisa di lakukan olehnya, kalau mengambil keputusan yang salah, keluarganya akan terkena masalah lagi, Dimas harus berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk kedepannya.
Dimas menyalahkan Agil kembali, semua itu berawal darinya, sampai saat ini yang terjadi sekalipun penyebabnya adalah Agil, Dimas menggeram kesal dalam hatinya.
"Ck, semua ini gara-gara bocah itu, keluarga kita jadi seperti ini, awas aja kalau ketemu la---"
"Biarkan saya tanggung jawab om."
Perkataan Dimas terpotong oleh sebuah suara yang familiar di telinga, ketiganya langsung menoleh ke ambang pintu tempat dimana suara terdengar, itu adalah Agil dengan wajah babak belurnya.
Tadi setelah Aldo pergi, Agil pamit kepada Diki untuk menyusul Aldo, tentunya untuk memastikan semuanya, sekalian dirinya akan bertanggung jawab atas perbuatan yang sudah di perbuatnya.
Tentu kedatangan Agil tidak mendapat respon yang baik dari mereka, Agil sudah menduga kalau itu akan terjadi, tapi dirinya sudah membulatkan tekadnya, walau harus mati sekalipun, Agil tidak akan mundur.
Dimas dan Aldo yang pertama merespon, keduanya langsung beranjak dengan kedua mata melotot, lengan di kepal kuat-kuat dan amarah besar terpancar dari sorot mata mereka masing-masing, keduanya langsung memberi respon kasar.
"Ngapain lo ke rumah gue hah!" teriak Aldo murka.
"Berani sekali kamu menampakan diri di depan saya, kamu mau saya bunuh!" sambung Dimas dengan amarah memuncak.
"Om! Aldo! Dengerin saya dulu. Saya cuma mau tanggung ja---"
"Persetan dengan omongan kamu. Pergi lo dari rumah gue."
"Pa! Aldo! Jangan main tangan. Jangan tambah masalah," tegur Reni.
Keduanya memang bersikap sangat kasar kepada Agil, Aldo menarik kerah baju Agil kuat-kuat, sementara Dimas di belakang Aldo menatap nyalang sambil menahan amarah agar tidak kebablasan menghajar Agil.
Agil pasrah dan menerima perlakuan mereka itu, dirinya sudah tidak peduli akan di pukul bahkan di bunuh sekalipun, yang jelas Agil harus menuntaskan masalahnya secepat mungkin, kalau berlarut-larut semuanya akan tambah kacau.
"O-om! Tante! Aldo! T-tolong dengerin saya dulu. Saya akan tanggung jawab, saya siap nikahin kak Zilia, saya siap melakukan apa pun. Saya tidak ingin bayi dalam kandungan kak Zilia lahir tanpa ayah, saya ti---"
"Sialan. Lo ngomong enak bener! Tanggung jawab! Lo pikir gue bakalan biarin lo nikahin kakak gue hah! Lo itu brengsek, sialan."
"D-dengerin gue dulu, Do. Gue gak---"
"Diam kamu. Saya tidak sudi menikahkan putri saya dengan kamu, lebih baik bayi itu lahir tanpa kamu, saya tidak akan pernah sudi sampai kapanpun."
"Om jangan ngawur! Kalau bayi itu lahir tanpa seorang ayah, apa kata orang lain? Itu justru akan menimbulkan masalah lainnya om."
"Berani kamu balas perkataan saya! Lancang sekali, kamu pikir kamu siapa? Saya bisa nyembunyiin anak itu dimana pun saya mau, saya bisa sembunyiin itu dari dunia i---"
"Saya siap melakukan apa pun om. Saya siap menerima konsekwensi apa pun setelah anak itu lahir nanti, tapi yang jelas idzinkan saya nikahin kak Zilia, demi status bayi dalam kandungannya kelak."
"Cih. Persetan dengan omongan mu itu, bagi saya kamu itu busuk, tidak pantas bersanding dengan anak saya, saya TIDAK SUDI, saya tidak sudi meni---"
"Bunuh saya om. Bunuh saya setelah anak itu lahir."
Semua terdiam. Apa yang di katakan oleh Agil sangat berani, mereka tidak bisa berkata-kata melihat sorot mata Agil yang serius, dia tidak main-main dengan kata-katanya sendiri.
* * *
...TO BE CONTINUE...
KAMU SEDANG MEMBACA
WITHOUT LOVE
Teen Fiction(HIATUS DULU) Agil hanya seorang pemuda biasa, pemuda yang berasal dari keluarga miskin, sejak meninggalnya kedua orang tua, Agil hidup sebatang kara dan harus mencukupi dirinya sendiri. Beranjak dewasa Agil merasakan cinta dan mulai berpacaran, tap...