~10~

2.4K 184 1
                                    

Suasana kediaman Jaemin dan Jeno sudah kembali seperti biasa. Kedua penghuninya sudah sama-sama kembali walau tidak banyak bicara. Walau sudah kembali berpenghuni, hal itu tidak bisa mengusir sepi di kediaman yang diisi dua orang pasangan suami istri tersebut. Keduanya sama-sama melakukan segala aktivitas paginya dalam diam. 

"Jaem" 

Jeno baru saja turun dan bergabung dengan istrinya yang sudah duduk di meja makan. Semua sarapannya sudah tersaji dan tertata rapi disana. Jaemin yang merasa dipanggil pun meletakkan ponsel di genggamannya dan mengambil alih dasi untuk dipasangkan di leher Jeno. Jaemin kembali melakukannya dalam diam.

"Jaem" panggil Jeno lagi. Jaemin yang tadinya fokus menatap pada dasi yang sedang ia pasangkan, kini sedikit mendongak untuk melihat wajah Jeno. Berusaha mati-matian untuk tidak mengutuk laki-laki di depannya ini karena hanya akan merusak paginya.

"Apa?" tanya Jaemin jengah. Ia menunggu Jeno dan Jeno justru terdiam. Tidakkah laki-laki itu sadar kalau Jaemin sudah muak untuk melihat wajahnya walau hanya dalam waktu 1 menit?

"Bisakah kau buatkan aku bekal hari ini? Aku sedang malas untuk keluar makan siang" tanya Jeno meminta. 

Jaemin mengangguk begitu saja. Padahal menu sarapan pagi yang ia buat kurang cocok jika harus dijadikan bekal. Haruskah Jaemin memasak lagi? Tapi dia ada rapat pagi ini. Tapi Jaemin juga sudah mengangguk sebagai jawaban. Jeno tersenyum tipis kala Jaemin menyanggupi permintaannya.

"Yang banyak ya? Aku akan mengajak Mark makan nanti biar aku tidak makan siang sendirian" ucap Jeno menambahkan. Jaemin kembali mengangguk mengiyakan. Walau dalam hatinya ia kembali merutuk Jeno yang merepotkannya.

"Jangan kau kira aku bodoh dan percaya begitu saja. Aku tau itu bukan untuk Mark. Paling-paling kau akan mengundang pacarmu untuk makan siang bersama di ruanganmu. Dasar brengsek!" maki Jaemin dalam hati. 

Namun semua hanyalah umpatan semu belaka. Jaemin masih belum ingin untuk mengumpati Jeno secara langsung. Bukan karena dia tidak berani, hanya saja ia masih berpikir untuk menghormati Jeno sebagai suami. Setelah semua yang ia lakukan padanya? Cih!

Jaemin mengabari sekretarisnya untuk menunda rapat internalnya dan mengatakan kalau kemungkinan dia akan datang terlambat. Renjun pun hanya mengiyakan walau sempat bertanya-tanya alasannya karena Jaemin tidak memberi alasan dan hanya bilang ada urusan mendadak. Ia pun terpaksa mendengarkan segala protesan dari karyawan yang rela berangkat lebih awal untuk menyiapkan rapat. Padahal kan bukan Renjun yang memutuskan, kenapa dia yang kena semprotan.

Selepas sarapan, Jaemin beranjak lebih dulu untuk menyiapkan bekal. Beruntung dia memasak nasi cukup banyak sehingga ia hanya perlu membuat lauknya saja. Jeno sendiri masih melanjutkan sarapannya sambil membaca berita terbaru di ponselnya. Tidak lama kemudian bekal pun siap. Ia menyerahkan dengan meletakkan di meja makan depan Jeno begitu saja tanpa kata. Jeno yang melihatnya pun berbinar.

"Kau sudah selesai membuatnya?" Bukannya mengucapkan terimakasih, Jeno justru melontarkan tanya yang sudah jelas-jelas jawabannya. Jaemin tidak menanggapi karena merasa percuma. Ia mulai membereskan meja makan dan menaruhnya di wastafel. Satu persatu alat makan itu ia cuci dengan telaten.

"Kalau begitu aku berangkat duluan ya" ucap Jeno berpamitan. Jaemin hanya berdeham saja. Jika biasanya ia akan bersama-sama dengan Jeno menuju garasi, kali ini tidak. Jeno memilih berangkat lebih dulu. Jangankan membantu Jaemin, mengucap terimakasih untuk bekalnya yang sedikit merepotkan itu saja tidak.

"Hahaha" Jaemin tertawa mengejek dirinya sendiri. Bukankah ia terlihat menyedihkan jika begini?

***

Jaemin sampai di kantor terlambat selama 1 jam. Ternyata berangkat lebih siang hanya akan membuatnya semakin terjebak macet. Akhirnya Jaemin baru bisa bernafas lega kala sudah sampai di kantornya. Buru-buru ia menuju ruang rapat. Ia pasti sudah ditunggu karena awalnya ia meminta untuk ditunda selama 30 menit saja. Tapi dia justru terlambat selama 1 jam. Sepertinya Jaemin harus memberikan bonus sebagai permintaan maaf atas ketidak professionalnya ini. Salahkan Jeno yang merepotkannya. Tapi jika ia mengatakan yang sebenarnya itu hanya akan mengumbar aib rumah tangganya. 

"Maaf atas keterlambatanku" ucap Jaemin membungkuk 90 derajat pada seluruh karyawan yang sudah menunggunya. Padahal Jaemin itu bossnya, tapi ia tidak segan untuk membungkuk dalam seperti itu pada bawahannya. Inilah salah satu alasan mengapa karyawannya begitu betah kerja disana. 

"Kwencana sajangnim" ucap mereka bersamaan. Tanpa menunggu lama Jaemin memulai rapat paginya. 

Satu setengah jam berlalu. Rapat pun selesai. Jaemin keluar dengan ekspresi datar. Bukan, bukan karena rapatnya. Rapatnya berjalan dengan lancar tanpa ada kesalahan walau ada beberapa masukan yang harus kembali dipertimbangkan. Alasannya berwajah datar adalah tidak lain dan tidak bukan yaitu suaminya. Jaemin hanya kembali tidak habis pikir dengan Jeno yang kembali membohonginya. Walau kali ini belum terbukti berbohong, tapi Jaemin sangat tau kalau ini hanya sebuah kebohongan. Haruskah dia datang ke kantor Jeno dan memastikan semuanya sendiri?

"Aniya. Aniya. Itu hanya buang-buang waktu untuk sesuatu yang sudah sangat jelas" ucap Jaemin. 

"Ne?" 

Renjun yang sejak tadi mengikuti Jaemin di belakangnya pun dibuat bingung kala tiba-tiba Jaemin berucap seperti itu. Renjun berbalik dan menemukan Renjun dan juga beberapa karyawan yang berdiri dibelakangnya. Sial, Jaemin sampai melupakan mereka.

"Aniya. Semangat untuk kembali bekerja. Terimakasih untuk rapat pagi hari ini dan mohon maaf" ucap Jaemin. Ia pun menaiki lift menuju ruangannya. Jaemin sudah memasuki ruangannya. Pun dengan Renjun yang sudah duduk di tempatnya. Belum ada 5 menit Jaemin masuk, tiba-tiba dia keluar. Renjun yang melihatnya pun segera berdiri.

"Ada apa sajangnim? Anda memerlukan sesuatu?" tanya Renjun dengan sigap.

"Ehmmm... itu. Boleh aku bertanya suatu hal padamu?" tanya Jaemin dengan ragu

"Tentu" jawab Renjun.

"Tapi ini tidak berhubungan dengan pekerjaan. Hanya saja cukup mengganggu pikiranku. Jadi kupikir aku bertanya pada seseorang" ucap Jaemin.

"Ne. Tidak masalah sajangnim. Aku akan menjawabnya sebisa mungkin" ucap Renjun.

"Itu... apa kau pernah dibohongi oleh orang terdekatmu? Sahabatmu mungkin? atau keluargamu? Tapi kau mengetahui kalau dia sedang berbohong. Bagaimana responmu?" tanya Jaemin.

"Ah... aku pernah mengalaminya juga. Awalnya tentu saja aku marah karena merasa di bohongi. Tapi aku kembali memikirkannya dengan kepala dingin. Setelahnya aku tau kalau dia berbohong karena suatu alasan dan alasan itu baik untukku. Jadi akhirnya aku memaafkannya. Kupikir berbohong untuk kebaikan itu masih bisa ditoleransi" jawab Renjun.

"Tapi bagaimana kalau itu bukan untuk kebaikanku?" tanya Jaemin lagi.

"Ah, itu. Aku belum pernah menemukan yang seperti itu. Tapi jika itu terjadi padaku tentu aku akan marah. Mungkin juga memberi sedikit pelajaran untuknya" jawab Renjun.

Jaemin diam, tidak kembali mengajukan pertanyaan. Ia sedang merenung sekarang. Haruskah ia memberinya pelajaran? Tapi masalahnya adalah itu suaminya. Apa memberi pelajaran pada suami sendiri itu tindakan yang bagus?

"Baiklah kalau begitu. Terimakasih sudah menjawab pertanyaan random dariku. Selamat kembali bekerja" ucap Jaemin setelah selesai merenung. Dia pun kembali memasuki ruangannya. 

***

TBC

Mian typo bertebaran ^^

Votement juseyo~~

Tanpa RASA ~ [Nomin] ~ \\END//Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang