05. Sentuhan nya

660 96 1
                                    


.
.
.
.
.
Bara membuka matanya perlahan, tidak perlu khawatir jika di akan merasa silau karena sinar lampu yang berada tepat di atas kepalanya, atau karena sinar mentari yang masuk melalui kaca jendela. Bara merubah posisinya menjadi duduk di atas ranjang nya, mencoba memperkirakan pukul berapa saat ini. Karena dia sama sekali tidak mendengar suara Yudha yang dia tahu semalam menemaninya.

"Kak bara, udah bangun." Bara mengulas senyum sampai akhirnya suara Kevin terdengar di telinganya.

"Kevin." Bara bisa merasakan tangannya digenggam oleh Kevin, tangan Kevin memang tidak sebesar tangan Yudha namun masih lebih besar di banding tangannya.

"Mau ke kamar mandi kak?" Bara mengangguk.

"Iya, bisa tolong anterin?" Kevin mengangguk.

"Ayo, mau sekalian dianter ke dalem?" Bara langsung menggeleng.

"Gak, gak usah, aku bisa sendiri." Kevin tertawa pelan, namun tawa khas itu masih mampu di dengar oleh Bara.

"Hati-hati infusnya ya kak." Bara mengangguk saat Kevin berhenti didepan kamar mandi dan membiarkan Bara masuk sendiri kedalam, Kevin sengaja tidak menutup rapat pintu kamr mandi agar dia bisa mendengar apa yang Bara lakukan.

"Udah?" Bara mengangguk, dia keluar dari kamar mandi setelah hampir sepuluh menit.

"Habis ini sarapan dulu ya, jangan lupa kakak ada pemeriksaan dengan dokter Mada." Bara yang baru saja kembali ke kasurnya langsung terdiam.

"Sama kamu?" Kevin tersenyum, dia tahu jika dia menggeleng pun Bara tidak akan pernah tahu.

"Aku temani sebentar nanti, aku ada urusan sama papi di perusahaan, nanti Yudha yang akan temani kakak. Tapi sebelum Yudha datang kak Bara sama dokter Mada aja ya?" Kevin ingin tertawa saat melihat alis Bara menukik.

"Kenapa harus dengan dokter Mada?" Kevin menepuk tangan Bara yang sedsri tadi dia genggam.

"Supaya kakak aman, kak Bara gak mau kan di datengi orang tua kakak atau Bella?" Bara menggeleng kencang.

"Ng-ngak mau!" Kevin mengelus kepala Bara pelan, Kevin selalu mengagumi rambut Bara sejak dulu. Tetap halus meskipun sering berganti warna.

"Jadi hari ini kak Bara nurut sama dokter Mada juga dokter Irgi ya?" Bara terpaksa mengangguk, dia selalu kesal dengan dokter Irgi, menurut Bara, dokter itu terlalu banyak bicara jika ada Yudha.

"Kevin, bisa tolong bilang ke Yudha untuk bawa biskuit?" Kevin tersenyum lebar, kebiasaan kakak nya tidak berubah, selalu suka memakan biskuit dalam keadaan apa pun.

"Iya nanti aku bilang, kebetulan mami sama mama kemarin habis buat biskuit." Kevin bahagia melihat senyum Bara, dia tidak ingin kehilangan senyum itu lagi seperti tiga tahun lalu.

"Sekarang kak Bara sarapan dulu, sini ku suapin!" Bara menggeleng dan mencoba meraba tangan Kevin.

"Aku bisa makan sendiri." Kevin menjauhkan nampan dari rumah sakit di tangannya.

"No no, aku mau suapin kak Bara, jadi harus nurut!" Bara merengut kesal, berbeda dengan Yudha yang akan menuruti apapun keinginan Bara asal pemuda itu mau makan, Kevin justru lebh sering menggoda dan akan memaksa menyuapi kakak sepupunya itu.

"Kesel!"
.
.
.
.
.
Pemeriksaan yang dilakukan Bara dengan dokter Irgi dan dokter Mada tidak memakan waktu cukup lama, bahkan saat ini Bara sudah duduk diam di bangku taman rumah sakit atas perintah Mada. Dokter itu bahkan membuat seluruh dokter dan perawat yang ikut memeriksa Bara menahan pekikan, tentu saja karena dengan mudahnya dokter yang terkenal dingin itu tersenyum di hadapan Bara.

"Bara." Bara yang semula hanya menatap lurus kedepan akhirnya menoleh saat mendengar suara berat Mada.

"Masih ingin disini?" Bara mengangguk kecil.

"Disini banyak angin." Mada tersenyum tipis dan duduk disebelah Bara. Pemuda mungil itu tampak tidak terganggu dengan kehadiran Mada.

"Dokter Mada." Mada menoleh.

"Ada apa?" Mada bisa melihat wajah khawatir Bara.

"Apa saya masih punya kesempatan untuk melihat lagi?" Mada terdiam, meskipun memang ada kesempat tapi Mada tidak suka memberikan harapan yang tidak pasti.

"Kesempatan itu ada, asal kamu mau terus menjalani pengobatan." Bara menunduk, hal itu sukses membuat Mada bingung.

"Saya ingin, tapi saya takut akan merepotkan Yudha, Kevin dan semuanya." Mada menepuk lutut Bara, membuat perhatian pemuda mungil itu beralih penuh pada Mada.

"Bara dengar, mereka selalu ingin kamu sembuh dan bisa melihat lagi. Mereka menyayangi mu, jadi jangan khawatirkan apapun. Lagi pula apa Yudha dan Kevin pernah mengeluh bahwa kamu merepotkan?" Bara memberi gelengan.

"Jika seperti itu tidak usah khawatir, apa kamu tidak ingin melihat Kevin menikah?" Bara terdiam sejenak kemudian mengangguk.

"Ingin, dia pasti sangat manis." Mada kembali tersenyum.

"Mulai saat ini Saya akan menjadi dokter pribadi mu, jadi jangan pernah lagi memikirkan hal lain. Jika kamu perlu bantuan, katakan pada saya." Bara tersenyum tipis.

"Terima kasih dokter Mada, saya bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang baik seperti dokter Mada juga dokter Irgi. Ya meskipun dokter Irgi terlalu berisik." Mada tertawa pelan, dan itu membuat Bara terdiam sebentar.

"Dokter Mada, boleh saya tau seperti apa dokter?" Mada menatap sejenak pada Bara kemudian mengiyakan.

"Ingin meraba wajah saya Bara?" Bara mengangguk, melihat itu Mada membawa tangan mungil Bara pada wajahnya.

"Permisi ya dokter."

Mada terdiam saat merasakan tangan mungil dan lembut Bara mulai meraba wajahnya secara perlahan, mulai dari dahi, mata, hidung pipi bahkan sekarang bibirnya. Mada tidak mengerti kenapa jantungnya harus berdetak sangat kencang hanya karena Bara menyentuh wajahnya, padahal dia tau apa yang dilakukan Bara adalah untuk mengenalinya.

"Wajah dokter mirip Sandy." Mada kembali tertawa.

"Tentu saja, karena kami saudara. Sama seperti kamu dan Kevin, benar?" Bara mengangguk dengan senyum manis terlukis di wajahnya.

"Apa kamu akan meraba wajah semua orang yang kamu kenal?" Bara terdiam dan menggeleng.

"Tidak semua, saya hanya akan menyentuh wajah orang untuk memastikan saya mengenali orang itu dengan dekat. Dokter akan ada di sekitar saya mulai saat ini, saya hanya memastikan pada diri saya sendiri bahwa saya akan aman jika bersama dokter." Mada mengangguk paham.

"Apa kamu akan melakukan nya pada dokter Irgi juga." Bara mengangguk kecil.

"Jika dokter Irgi tidak keberatan." entah mengapa Mada tidak menyukai gagasan Bara tentang hal itu.

"Baiklah, ayo saya antar kembali ke kamar, mungkin Yudha sudah datang." Bara mengangguk dan menurut saat Mada membantunya kembali duduk di kursi roda, padahal menurut Bara dia bisa berjalan sendiri.

"Bara, kamu memiliki saudara yang akan selalu mendukung mu dan akan selalu melindungi mu, jangan pernah merasa takut lagi. Karena kami akan pasti kamu selalu aman."
.
.
.
.
.
Di lain tempat sepasang suami istri sedang berbicara serius dengan putri kesayangan mereka.

"Sudah menemukan tempatnya?" perempuan muda itu mengangguk.

"Dia ada di rumah sakit milik keluarga Roderick kan? Kita tidak bisa masuk begitu saja dan membawa pergi pembawa sial itu." kedua orang tua nya mengangguk.

"Kenapa tidak kamu dekati lagi saja pewaris keluarga Roderick sayang?" perempuan itu menggeleng.

"Papi mau aku di bunuh oleh mereka? Kita sudah membuat kesalahan pda mereka, masih bisa hidup tenang sampai saat ini saja sudah untung!" laki-laki paruh baya itu mengangguk.

"Jika begitu kita gunakan rencana lain untuk membuat pembawa sial iru kembali ke sini, dia tidak boleh diketahui orang lain atau kita akan kehilangan semuanya!"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Eternal sunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang