.
.
.
.
.
Hari-hari mungkin tidak berwarna, namun sebulan ini terasa lebih ceria. Kehadiran Mada di setiap pemeriksaan nya membuat Bara tenang, pemuda itu tidak perlu khawatir akan kehadiran ayah atau saudara kembarnya. Karena setiap kali Bara ada di sekitar Mada atau keluarganya, dua sosok yang paling Bara hindari itu seolah menghilang."Bara." Bara menoleh ke arah kiri saat mendengar suara dari sana.
"Lagi apa di luar?" sebuah tangan halus dan lembut bisa Bara rasakan tengah mengelus kepalanya.
"Tante Arini." Arini tersenyum saat Bara mengenalinya, saat ini wanita itu tengah berkunjung ke mansion keluarga William. Mengunjungi sahabat lamanya yang merupakan ibu dari Kevin hanya alasan, Arini ingin bertemu Bara.
"Dingin disini, kenapa gak masuk?" Bara menggeleng.
"Bara masih ingin disini tante." Arini tersenyum dan mendudukan dirinya di bangku yang memang ada di samping Bara.
"Bara kapan ada jadwal pemeriksaan lagi?" Bara bisa merasakan tangannya di genggam oleh Arini.
"Lusa tante."
"Kalau tante Arini ikut menemani Bara boleh?" Bara mengernyit.
"Tante mau menemani Bara di rumah sakit?" Arini mengangguk kecil, namun segera bersuara saat sadar Bara tidak akan bisa melihat anggukannya.
"Iya, nanti biar tante yang bilang ke Mada." Bara terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
"Boleh tante, lusa mungkin saya juga berangkat sama supir aja." Arini terkejut mendengar jawaban Bara.
"Kevin sama Yudha gak ikut?" Bara kembali menggeleng.
"Mereka ada kuliah pagi jadi gak bisa anterin, lagi pula Bara bisa sendiri tante." Arini kembali tersenyum. Arini jadi berfikir bahwa sekalipun anak kembar sifat dan sikap keduanya bisa sangat berbeda.
"Hati-hati ya, kalau perlu nanti tante minta Jordy buat jemput kamu." mendengar nama Jordy di sebut oleh Arini, Bara langsung menggelengkan kepalanya kencang.
"B-Bara berangkat sendiri aja tante." Arini tersenyum lucu saat melihat Bara panik.
"Kamu masih takut sama Jordy?" Bara menunduk saat Arini bertanya seperti itu.
"Sedikit, Jordy suaranya serem kalau marah."
.
.
.
.
.
"Kak Bara, kakak yakin mau berangkat cuma sama supir aja?" Bara mengangguk, dia sangat yakin saat ini Kevin dan Yudha pasti tengah menatap nya lekat."Aku gak papa Vin, kalian gak usah khawatir." Bara membalas genggaman tangan Yudha pada tangannya.
"Kak jangan jauh-jauh dari bang Mada atau dokter Irgi sampai kita jemput ya?" Bara mengangguk.
"Iya, kalian kuliah yang bener."
Cup
Cup
Bara memasang wajah kesal saat Kevin dan Yudha bergantian mengecup pipinya.
"Yudha! Kevin!" kedua adik sepupunya itu justru tertawa saat melihat Bara memekik kesal.
"Kita berangkat dulu ya kak, kak Barra juga siap-siap aja, habis ini pak Joko yang antar kakak ke rumah sakit." Bara mengangguk, meskipun sebenarnya dia masih kesal pada kedu sepupunya itu.
"Sana berangkat, kalian ngeselin." Yudha menepuk tangan Bara pelan.
"Nanti pulang dari kampus, aku bawain red velvet cake kak."
.
.
.
.
.
Bara masih mengingat dengan jelas ucapan dokter Irgi padanya tadi, dokter spesialis mata itu mengatakan matanya bisa kembali melihat jika syaraf yang rusak berhasil di perbaiki. Bara yang semula yakin kembali menjadi ragu, bagaimana jika ternyata kerusakan syaraf nya tidak bisa di perbaiki?"Wah...Wah...Lihat aku menemukan anak kucing yang terbuang." tubuh Bara menegang saat mendengar suara nyaring yang familiar.
"Uh...Kenapa panik? Takut ya?" Bara meraba sekitarnya guna mencari tongkat miliknya.
"Cari apa Bara? Buru-buru sekali? Kamu tidak rindu sama kakak mu ini?" Bara menggeleng kecil, suara nyaring itu milik Bella, saudara kembarnya.
"Bara tidak rindu aku, aku sakit hati. Gimana kalau mami sama papi tau?"
Grep
"Dengarkan aku Bara, kamu itu tidak seharusnya ada. Kamu harus ingat kehadiran mu di keluarga itu hanya pembawa masalah dan kesialan!" Bara kembali menggelengkan kepalanya, nafasnya memberat karena cengkraman tangan Bella di rahangnya.
"L-lepas.." Bella tertawa sinis saat mendengar suara lirih Bara yang sarat akan ketakutan.
"Kamu itu hanya akan menjadi bayang-bayang ku Bara, jangan pernah berharap mami sama papi akan melihat ke arah mu!"
Bruk
Bella mendorong tubuh Bara hingga pemuda itu terjatuh dan menabrak bangku taman rumah sakit.
Sret
"Kucing kecil ini harus segera dibawa kembali ke temoat asalnya, agar tau jika dia tidak seharusnya berdekatan dengan milik majikannya!" Bella berbisik pada Bara. Perempuan itu tampak teraenyum miring melihat ketakutan Bara.
"Jauhi keluarga Roderick jika kamu tidak mau melihat dua adik kesyangan mu itu celaka. Ah bukan dua, tapi tiga. Benar bukan adik ku."
"J-jangan." Bella menepuk pipi Bara kencang saat adik kembarnya itu mengatakan jangan.
"Jangan? Maka jauhi keluarga Roderick Bara! Karena putra sulung keluarga Roderick adalah calon suami ku!" Bara terkejut saat mendengqr ucapan Bella.
"C-calon suami?"
"Iya, C-A-L-O-N S-U-A-M-I." Bella dengan sengaja mengeja dan menekan kata-katanya.
"Akh!" Bara mendongak saat Bella menjambak rambutnya.
"Jika kamu masih ada di sekitar keluarga Roderick, maka kamu akan melihat tiga adik mu itu celaka, kamu paham adik ku sayang?" Bara terpaksa mengangguk.
"Sebagai salah pertemuan kita kembali, aku akan memberikan kenang-kenangan untuk mu."
Brak
Brak
Bruk
Tubuh Bara terkulai di bawah bangku taman setelah Bella membenturkan kepalanya pada bangku taman sebanyak dua kali.
"Selamat tinggal Bara, aku harap kamu tidak lagi membuka mata."
.
.
.
.
.
Yudha dan Kevin berlari panik sepanjang lorong rumah sakit, mereka baru saja mendapat kabar jika Bara harus mendapat penanganan karena terbentur bangku taman. Kedua sepupu itu sudah memberi kabar pada orang tua mereka, namun karena orang tua mereka sedang berada di luar negri jadilah hanya ada mereka berdua sekarang."Dokter Irgi!" Irgi yang baru saja keluar dari kamar rawat Bara menoleh saat mendengar suara Yudha.
"Dokter Irgi, bagaimana bisa kak Bara terbentur?" Irgi menghela nafas dan menatap Yudha dan Kevin bergantian.
"Perawat menemukan Bara tergeletak di bawah bangku taman rumah sakit, kami menduga Bara terjatuh dan terbentur bangku taman." Yudha menggigit bibir bawahnya, sedangkan Kevin sudah meremas kedua tangannya sendiri.
"Sekarang keadaan kak Bara bagaimana dokter?" Irgi mengulas senyum tipis.
"Bara baik-baik saja, beruntung benturan di kepalanya tidak mengganggu syaraf mata milik Bara. Tapi kemungkinan Bara akan merasakan pusing saat sadar nanti." Kevin menggenggam tangan Yudha yang berada di sebelahnya.
"Kami boleh masuk?" Irgi mengangguk.
"Ya masuk lah, tapi biarkan Bara istirahat dahulu. Nanti jika Bara sadar segera panggil kami, saya dan Mada akan kembali untuk memeriksa keadaan Bara." Yudah mengangguk begitu pula Kevin.
"Baik dokter, terima kasih banyak." Kevin masuk lebih dulu meninggalkan Yudha yang masih betah berada di hadapan Irgi.
"Terima kasih bang." Irgi tersenyum dan mengusak rambut Yudha.
"Jangan berterima kasih, ini semua sudah tugas saya Yud."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal sunshine
FanficMada, menolak tawaran sang ayah untuk menjadi direktur rumah sakit milik keluarganya dan memilih menjadi dokter pribadi seorang pemuda mungil berusia 24 tahun. Seorang pemuda yang sudah menarik perhatian Mada sejak pertama kali membuka matanya di ru...