Jumat menjelang petang, tidak ada pekerjaan, dan hujan seharian. Perpaduan yang apik buat berdiam di kasur. Tidak mandi, tidak apa-apa, toh tidak akan ke mana-mana. Begitu pikir Giri, ketika ia masih menikmati kopi panas di kamarnya sembari menikmati playlist susunannya di salah satu platform streaming musik.
Namun, ketenangan yang ia jaga seharian rupanya tidak berlangsung lama. pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Seseorang berdiri dengan raut wajah pucat pasi. "Gi!"
Terkejut, Giri menoleh ke arah pintu. "Woi. Santai, Bos."
"Jody kecelakaan."
Giri memelotot mendengar ucapan Koko, teman serumahnya. Ia meletakkan gelas kopi yang digenggamnya, kemudian berdiri. "Serius? Di mana?"
"Sekarang di rumah sakit. Masalahnya, Jody tadi lagi perjalanan ke Batu, Gi."
"Ngapain? Event? Terus?"
Koko mengangguk, lalu berbalik ke kamarnya. "Reguler di Sky Lounge. Kamu kabari Mbak Tyas, Gi, bilang kamu yang mau gantiin. Aku mesti ngurus Jody di rumah sakit."
"Loh, gendeng, ta. Aku belum mandi seharian, Ko." Giri mengekor Koko.
"Enggak usah. Wes (sudah) mepet. Cuci muka cukup." Koko meraih kunci motor di gantungan dekat pintu, kemudian bergegas keluar dari rumah, meninggalkan Giri yang masih ternganga keheranan.
Sesaat kemudian, pria itu kembali ke kesadaran. Ia buru-buru kembali ke kamar, melepas sarung, lalu meraih ponsel yang sedari tadi tidak digubrisnya. Tujuh panggilan tidak terjawab, 9 pesan Whatsapp, beberapa lainnya pemberitahuan dari media sosial.
Giri membuka satu pesan dari Tyas, vokalis band Jody. Ia meminta informasi lokasi dan jam mulai. Tak lama, Tyas membalas pesannya.
"Jam tujuh?!" Giri melempar ponselnya. Ia mengumpat sembari memasuki kamar mandi, lantaran waktu yang dimiliki tidak lama. Ia tak yakin bisa menempuh jarak sejauh tujuh belas kilometer di tengah guyuran hujan dalam waktu empat puluh menit. Malang, akhir pekan, dan hujan. Hampir mustahil ia bisa sampai di lokasi tepat waktu.
Kaos hitam yang tersampir di belakang pintu diambilnya, kemudian ia menyemprotkan parfum sedikit lebih banyak dari biasanya. "Enggak mandi enggak apa-apa, yang penting wangi."
Giri melangkah ke ruangan kecil yang disulap olehnya dan teman-temannya menjadi studio musik, di depan kamarnya. Ia mengambil bass senar empat warna putih. Menggulung kabel jack asal-asalan, meraih efek di atas rak, dan beberapa perlengkapan yang sekiranya ia butuh.
"El! El, aku berangkat, yo. Jaga rumah!" teriaknya, sembari memakai sepatu.
Giri menoleh keheranan ketika yang keluar dari kamar Noel bukanlah sosok yang ia panggil, melainkan seorang perempuan berambut lurus panjang. "Bang Noel lagi cari makan, Mas."
Alisnya berkerut, berusaha mengingat kapan perempuan ini masuk rumah. Namun, ia sama sekali tidak tahu. Atau tidak menyadari hal itu? Laki-laki itu menggeleng. Tidak ada waktu buat untuk mengomentari kelakuan rekan serumahnya. Ia menoleh lagi ke perempuan yang tersenyum kikuk di depan kamar belakang, kamarnya Noel. "Tolong pamitin ke Noel, ya, Mbak."
"Iya, Mas. Em, Sampean Mas Giri, ya?" tanyanya, seraya berjalan pelan mendekat ke Giri.
Giri berdiri kemudian memakai jas hujan sebelum mengeluarkan motor dari teras. Bukan Giri namanya kalau tidak langsung menerima senyuman ramah dari perempuan.
"Mau manggung, Mas?" tanya perempuan itu lagi.
"Iya. Sorry, nih, Mbak. Kita belum sempet kenalan sama ngobrol. Saya buru-buru soalnya." Giri tersenyum ramah kepada perempuan itu, seraya mengeluarkan sepeda motornya dari teras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Me in the Middle
RomanceNone but the Lonely Heart dari Tchaikovsky secara ajaib mengantar pertemuan Ratri yang rendah diri dengan Giri, sang musisi yang penuh dengan energi. Tanpa waktu lama, pertemanan di antara mereka pun membuat Ratri mampu melepaskan diri dari bingkai...