TW! Pada bab ini ada unsur kekerasan seksual. Mohon kebijakan teman-teman, ya. Untuk yang kurang nyaman bisa skip ke bab berikutnya saja. Terima kasih.
Bunyi-bunyi berisik dari knalpot dan mesin yang selangnya menjulur-julur mendominasi pendengaran. Meski begitu, Ratri sama sekali tidak terganggu. Ia tetap duduk di kursi tunggu berbahan stainless steel di pinggir area pengerjaan motornya.
"Sorry, ada telepon dari teman kontrakan." Giri berjalan mendekat, sembari mengantongi ponselnya.
Ratri tersenyum, kemudian mengangkat tas yang sengaja ia taruh di sisi kiri, tempat di mana tadi Giri duduk. Perempuan itu menatap ke pria yang kini duduk santai di sebelahnya. "Terima kasih banyak, Mas. Saya enggak tahu gimana kalau enggak dibantu sama Mas Giri."
Giri terkekeh. "Satu sama."
"Hm?" Ratri memiringkan kepala, tidak mengerti dengan maksud Giri.
"Saweran seratus ribu dari Mbak Ratri waktu itu adalah penolongku. Pas itu, aku lagi enggak punya duit sama sekali. Makanya saya bela-belain nguber Mbak sampai dalam mal, soalnya waktu itu juga saya enggak tahu harus gimana kalau enggak dibantu sama Mbak Ratri."
Pria itu tersenyum, kemudian mendongak ketika menyadari seorang montir menghampiri kami dengan membawa baki. "Olinya kering, Mas."
"Em, kayaknya aku ganti oli sekitar tiga atau empat bulan yang lalu, Mas," tanggap Ratri, seraya membuka tasnya, mencoba mencari nota bengkel terakhir.
"Terus motornya enggak bisa nyala kenapa? Aki normal, kok. Speedo masih naik juga."
"Kabel sensornya putus, Mas. Sampean ke sini coba, dilihat." Montir itu mengajak Giri mendekat ke motor Ratri. "Kayaknya digigit tikus."
Ratri yang ikut melihat kondisi motornya menutup bibir dengan tangan. Pikirannya berkelana ke kemungkinan lokasi yang jadi perkara. Mana lagi kalau bukan parkiran kos. Dekat dengan saluran air pasti membuat tikus senang ke sana ke mari.
"Pengerjaannya lama, Mas?" tanya Ratri.
"Bisa ditunggu, kok," jawab montir itu.
"Sekalian servis sama dicek keseluruhan saja, Mas. Matur nuwun." Ratri kemudian kembali ke bangku tempatnya duduk. "Mas Giri enggak ada acara hari ini?"
Giri mengerutkan dahi, kemudian menggeleng. "Siang ini enggak ada acara. Ngomong-ngomong, Mbak Ratri sudah sarapan?"
"Sebenernya belum, sih. Tadi pagi buru-buru ke bengkel habis dikabari sama Njenengan."
"Pas banget. Cacing di perutku sudah demo, Mbak. gimana kalau kita makan bentar? Sudah pernah coba Pecel Winongo?" tanya Giri.
Ratri menggeleng pelan. "Di mana itu, Mas?"
Giri lebih dulu berdiri, kemudian meraih helmnya yang ditaruh di bawah kursi. "Nah, berarti sekarang saatnya ngicipi Pecel Winongo, Mbak."
Pria itu kemudian berjalan mendekat ke montir yang menangani motor milik Ratri, setelah mengatakan akan pergi sebentar, ia tersenyum ke perempuan yang masih anteng duduk di kursi. "Aman. Motornya sudah tak titipin. Yuk?"
Ratri tersenyum kikuk. Mau tak mau, ia mengikuti apa yang ditawarkan Giri. Ia mengambil helm, kemudian memakainya begitu berdiri di samping motor Giri. Canggung. Sebab selama ini, hampir tidak ada pria lain yang pernah berdekatan dengannya selain bapak, adik, dan pacarnya. Barangkali, Ratri terlalu menutup diri sampai-sampai ia enggan berdekatan dengan orang-orang lain selain lingkaran terdekat.
Giri melaju tidak cepat-cepat. Sepanjang jalan, Ratri bisa mendengar Giri menggumamkan lagu-lagu yang tidak ia tahu. Hingga kemudian, motor yang dikendarai berhenti di deretan kendaraan di bawah pohon besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Me in the Middle
RomanceNone but the Lonely Heart dari Tchaikovsky secara ajaib mengantar pertemuan Ratri yang rendah diri dengan Giri, sang musisi yang penuh dengan energi. Tanpa waktu lama, pertemanan di antara mereka pun membuat Ratri mampu melepaskan diri dari bingkai...