Bab 10

25 8 0
                                    

Barangkali genggamannya terlalu erat. Barangkali memang ia yang tidak bisa memberikan apa yang Listu mau. Ratri menyalahkan dirinya di hari-hari di mana ia memergoki Listu bersama perempuan lain. Seperti yang dibilang Listu kepadanya, bahwa ia punya andil dalam koyaknya hubungan mereka.

Dalam gelap di lepas malam, di hari-hari itu, Ratri menelisik diri. Mana yang salah? Apa yang kurang? Sebab ia merasa sudah memberikan segalanya. Semua. Akan tetapi rupanya bagi Listu, ia belum sepenuh-penuhnya ada.

Namun, hari ini ia sudah terlampau lelah. Terlalu marah. Hubungan itu terlalu suram untuk diterjang. Pengandaian yang ia rangkai, sirna seketika. Hatinya tidak lagi mengais asa. Ia hanya ingin pergi. Sebab, beban besar di dadanya kian mengimpit, dan ia butuh melepaskan segalanya.

Di kucuran air dingin, ia memejam. Sekelebat bayangan tentangnya dan Listu hilir mudik kemudian. Tamparan dan cengkeraman kasar nyatanya tak hanya menimbulkan luka kebiruan di badan, tapi juga mematrikan tanda berhenti di hati.

Ia buta sepenuhnya, sebab pekikan Listu lebih kencang dari segala tanda. Pekikan yang selalu menyerukan kalau tidak akan ada sosok yang bisa menerimanya.

Dalam tangis yang belum juga mereda, ia memeluk diri. Meraung atas apa yang telah terjadi. Merasakan nyeri di seluruh badan dan hati.

***

Gemerlap lampu sorot perlahan sirna. Giri turun dari panggung besar di Lapangan Rampal beserta Segara dan pemain musik lainnya. Namun, ketika Segara berjalan ke arah depan panggung, Giri bergegas menuju tenda putih di belakang panggung, lalu merebahkan diri di bangku.

"Edan. Capek banget tapi asyik pol!" ucapnya, seraya menerima ajakan tos dari salah satu kru Segara.

"Mas Giri pancen ngenten (memang begini)." Kru itu menunjuk dua jempol kepada Giri, lalu tersenyum lebar.

"Oh, ya? Aku enggak bisa dengerin suaraku sendiri, Jon. Monitor mati," keluh Giri.

"Aman, kok, Mas." Jon kemudian menggeser cello milik Giri mendekat. "Clear di luar. Mantap, Mas"

Setelah rehat sejenak dan menitipkan alat-alat musiknya kepada kru, pria itu bangkit berdiri lalu berjalan keluar dari tenda. Pandangannya sontak langsung tertuju ke salah satu sosok yang berdiri tepat di dekat pagar pembatas dekat panggung.

Sosok berambut ikal panjang itu menoleh ke arah penonton. Sontak, Giri mendekat ke sana.

"Mas Gi," panggil seorang perempuan lain.

Giri tersenyum, tapi tetap berjalan ke perempuan yang sejak tadi ia amati. Kira-kira tinggal beberapa langkah lagi jaraknya, perempuan itu keburu berbalik lalu menghilang di balik kerumunan penonton yang berjubel.

Ah, sial.

Giri mengeluarkan ponselnya. Sembari membalas sapaan orang-orang yang meneriakkan namanya. Jemarinya lincah mencari nama seseorang yang ia yakin barusan ia lihat di kerumunan.

Berkali-kali Giri mencoba menghubungi, tapi sial dua kali, sinyalnya buruk sekali. Barangkali karena ratusan orang berada di sini. Pria itu pun sedikit menyingkir, lalu mengirimkan pesan kepada Ratri.

Mbak, lagi di Rampal, kah? (21.34)

Giri kembali ke tenda, sebab lepas pertunjukan biasanya Segara akan langsung melakukan evaluasi. Dan, benar saja. Semua additional player dan kru sudah berkumpul di dalam dan mulai membahas pertunjukan barusan.

Kira-kira setengah jam kemudian, ponsel dalam saku celananya berdenting. Satu pesan masuk. Senyuman di bibir Giri mengembang, sebab itu dari Ratri.

Enggak, Mas (22.06)

Meet Me in the MiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang