Bab 5

41 12 0
                                    

Tidak mau buang waktu, Giri mendekat. Namun, saat mereka berjarak dua meja, Giri berhenti. Pria itu menoleh ke kanan dan kiri. Ia berhenti sejenak, untuk setidaknya mengamati lingkungan sekitar. Tidak ada tanda-tanda orang lain mendekati. Jadi sepertinya, perempuan berbatik ungu itu memang sendiri.

Perempuan itu menunduk, lalu sesekali memegang pipi dengan tangan kiri. Apakah ia sedang menangis?

Ketika Giri melangkah lagi, tiba-tiba perempuan itu mendongak. Mata mereka bertemu. Refleks, Giri meringis sambil mengangkat tangan. "Hai, Mbak."

Kagok, Giri menggaruk kepalanya, sambil tetap mendekat. "Sorry, saya pengamen yang di parkiran luar tadi," katanya memulai pembicaraan.

Perempuan itu mengangguk pelan, kemudian mengubah posisi duduknya, seakan tidak nyaman. Matanya sembab, wajahnya tidak tampak segar, seperti sedang kalut karena ditimpa masalah super besar.

"Kebetulan saya mau beli minuman di sini, terus enggak sengaja lihat Mbak." Giri berdiri mencengkeram sandaran kursi di depan perempuan berbatik ungu itu.

"Saya enggak ada maksud jahat, kok. Cuma mau berterima kasih karena Mbak mengisi case cello saya tadi. Itu ... besar dan berarti banget buat saya."

Menyadari sikap defensif yang tampak dari perempuan itu, Giri menunduk, memeriksa penampilannya. Apa jangan-jangan tampilanku berindikasi penculik yang menjual organ dalam manusia?

Kemudian, Giri berdeham. "Saya main di parkiran setiap hari Rabu sore."

"Kalau masnya mau duduk di sini, saya bisa pergi," kata perempuan itu, sambil beranjak berdiri.

"Tunggu sebentar. Saya punya hutang ke Mbak, boleh saya bayar dulu?" katanya, buru-buru.

"Hutang?"

"Mbak boleh request lagu apa saja. Klasik, pop, keroncong, jazz, apa saja ... selama saya bisa mainnya." Giri meringis, menyunggingkan senyuman termanis yang ia bisa, karena ia ingat kalau Sisil, Annisa, Ines, Tasha, dan sebaris mantannya yang lain pernah bilang kalau senyumannya memiliki daya antitolak yang tidak bisa disepelekan.

Satu.

Dua.

Tiga.

Perempuan itu menggeleng. "Itu bukan hutang. Saya memberi karena saya ... menikmati lagu yang tadi."

Asem. Review dari mantan kali ini tidak valid.

"Judulnya None but the Lonely Heart." Tentu, bukan Giri namanya kalau menyerah begitu saja. "Itu salah satu lagu favorit saya. Kesedihan, kekosongan, kesepian yang dalam ... saya selalu menginterpretasikan lagunya seperti itu."

Perempuan itu mendongak. Mata Giri berbinar senang, karena bisa melihat dengan jelas perempuan yang membuatnya keliling mal hari ini.

"Saya bisa mainkan sekali lagi, khusus buat Mbak," katanya, lagi.

Perempuan itu diam sesaat, kemudian menghela napas panjang. Ia menoleh ke kanan dan kiri, sebelum kembali menatap Giri.

"Di sini?" tanyanya, ragu-ragu.

"Kalau di sini saya bisa ditangkap satpam. Di tempat lain kalau Mbak enggak keberatan."

***

Giri lupa kalau parkiran luar mal gelap karena minim penerangan. Tadinya ia sudah mencoba menawarkan tempat lain, tapi perempuan berbatik ungu itu menolak. Mau tak mau, Giri mesti kehilangan Gudang Garam Filternya untuk merayu satpam yang berjaga, biar ia bisa memainkan satu lagu buat penonton spesialnya itu.

Sebenarnya, Giri merasa aneh, karena ia terbiasa memperhatikan mimik muka penontonnya. Apakah suka, atau tidak suka. Namun, rasa aneh itu kini jadi hilang setelah perempuan itu mengucapkan terima kasih usai lagu itu selesai dimainkannya ulang.

Giri pun kembali membereskan peralatan, sambil sesekali menoleh ke perempuan di depannya yang sedang sibuk dengan ponsel.

"Rumahnya di mana, Mbak?" tanya Giri memecah keheningan.

"Di Jalan Candi Kalasan," jawab perempuan itu.

Tak lama kemudian, dering ponsel perempuan itu terdengar. Ia berjalan menjauh, meski samar-samar suaranya masih jelas terdengar di telinga Giri.

"Saya di parkiran motor belakang, Pak. Baik. Saya tunggu di ... di bawah lampu pinggir jalan," katanya.

"Nunggu Gojek, Mbak?" tanya Giri, basa-basi. Perempuan itu mengangguk.

"Saya juga mau sekalian pulang. Monggo, bareng ke depan," ajak Giri.

Dalam diam, mereka berjalan bersama. Perempuan itu tidak banyak bicara sejak tadi, meski Giri sudah berusaha mengajaknya berinteraksi. Bahkan ketika mereka sampai di bawah lampu jalan pun, perempuan itu tetap diam.

Karena jarak yang cukup dekat, Giri jadi bisa mengamati perempuan itu lebih teliti. Wajahnya agak bulat, hidungnya mancung, kulitnya pun tampak terawat. Meski tidak secantik Inez atau Tasha, atau mantan-mantan Giri lainnya, perempuan itu manis sekali. Bajunya sangat rapi, bahkan Giri bisa melihat bekas lipatan setrikanya. Sepertinya ia adalah orang yang sangat teliti. Namun, ada satu titik yang membuat Giri teringat sosok yang berkesan baginya di masa lalu. Tahi lalat kecil di antara alis dan rambut bergelombangnya.

"Kenapa, Mas?" tanya perempuan berbatik ungu.

"Kita belum kenalan. Saya Giri, nama Mbak?"

"Saya Ratri."

Apa cuma mirip? Karena merasa belum yakin, Giri pun mengajukan pertanyaan lagi. "Mbak Ratri asli Malang?"

"Bukan. Saya dari Solo."

"Solo?"

Belum tunai rasa penasarannya, sepeda motor dengan pengendara berjaket hijau keburu berhenti di depan mereka.

"Kila Ratri Ndari?" tanya sopir ojek online itu.

Ratri mengangguk, kemudian menoleh ke arah Giri. "Saya permisi." Kemudian, perempuan itu pun pergi dari hadapannya.

Kila Ratri Ndari? Astaga! Kila Ratri ....

Giri memandang perempuan yang tadi bersamanya kian jauh, lalu hilang dari pandangan. "Solo? Kila Ratri? Apa dia Kila yang itu? Astaga ...."

Giri melongo. Ia tidak percaya bertemu dengan sosok itu lagi. Sosok yang sangat berkesan buat Giri saat ia di bangku SMP. Giri ingat betul nama itu, berikut dengan sosoknya.

Kila, sebuah nama yang berkesan sebab pernah jadi bulan-bulanan teman band sekolahnya dulu. Bahkan, Kila pernah membuatnya bertengkar hebat dengan Adit, vokalisnya band sekolahnya, sehari sebelum festival band. Gara-gara Adit sudah sangat keterlaluan menjadikan Kila bahan olok-olokan.

Apa itu sungguhan Kila yang itu?


Meet Me in the MiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang