Bab 3

49 11 0
                                    

Selamat hari Minggu, hari ini ada dua bab yang publish, yaaa. Selamat membaca ^^


Sejak tinggal di kota terbesar kedua di Jawa Timur ini dua tahun yang lalu, Ratri sama sekali tidak pernah berpindah kos. Meski tidak begitu luas, tapi hanya di kamar ini saja Ratri punya akses langsung ke balkon. Ia bisa tersenyum lega, karena meski tidak tinggal di rumah orangtuanya, Ratri tetap bisa melanjutkan kesenangannya merawat tanaman. Balkon kecil berukuran 3 x 1,5 meter itu pun disulap oleh Ratri jadi tempat tinggal teman-teman hijaunya. Bagi Ratri, selama ada mereka, ia akan baik-baik saja.

Namun, rupanya waktu bagi teman hijaunya kali ini tidak begitu lama, karena sebuah mobil yang ia kenal berhenti di depan gerbang kosnya.

Ratri meletakkan lap dan semprotan ke atas meja bundar di dekat jendela, lalu melepas sarung tangannya. Buru-buru ia masuk ke kamar, lalu mengambil ponsel yang berdering.

"Aku di depan," ucap Listu dari seberang sana.

"Sebentar, aku ganti baju dulu." Ratri melempar benda pipih ke atas ranjang, lalu membuka lemari baju.

Begitu selesai berpakaian dan menggelung rambut, ia meraih ponsel dan dompet di atas nakas, kemudian bergegas meninggalkan kamar.

"Hai," sapanya, begitu masuk ke mobil Listu. "Sudah sarapan?"

Listu melepas kacamata hitam yang membingkai wajahnya, lalu meletakkan benda itu di atas dashboard. "Sudah. Kamu mau makan?"

Ratri menggeleng. "Aku juga sudah makan, kok. Kamu lagi capek banget, ya? Semalam aku telepon kamu beberapa kali tapi enggak diangkat?"

Listu menghela napas. Tangan kanannya meninju kecil setir di depannya. "Aku capek banget. Habis ikut pasang kitchen set. Mau ngomong apa, sih?"

Melihat reaksi Listu, Ratri diam sejenak. Ia agak ragu hendak menyampaikan pembahasan soal permintaan ibunya kemarin.

"Apa?" Listu menoleh.

"Kemarin ibuku telepon." Sejenak Ratri menghentikan bicaranya.

"Terus?" Listu menatap Ratri lurus-lurus, seperti tidak sabar mendengar kalimat berikutnya.

"Ibu tanya apa Natal ini bisa pulang ke Solo? Soalnya ada yang mau dibicarakan."

"Kalau kamu mau pulang, ya, pulang saja."

Ratri mengarahkan posisi duduknya menghadap Listu. "Maksudnya, pulang ke Solo sama kamu. Ibu bilang, beliau mau bicara sama kita."

Listu diam. Ratri pun demikian. Suara kersik daun kering yang beradu satu sama lain karena terkena angin yang jadi penengah di antara mereka kala tidak saling bicara beberapa lama.

"Kayaknya, bapak sama ibuku mau menanyakan soal rencana kita. Soal hubungan kita ke depannya—"

"Aku belum siap." Belum juga Ratri selesai bicara, Listu sudah memotong ucapannya. Ia membuang pandangan ke arah luar.

"Enggak harus segera menikah, cuma—"

"Apa?" Listu kini kembali mengarahkan pandangan ke Ratri. "Enggak mungkinlah, Ra. Pasti mereka bakal nyuruh kita cepet-cepet nikah. Makanya, waktu kamu pindah ke sini, aku sebenarnya sudah kepikiran kalau orangtua kamu bakal maksa aku nikahin kamu."

"Bentar, bentar. Aku mengajukan diri untuk pindah ke sini memang karena kamu, Listu. Karena aku merasa kita sudah sepakat untuk bareng sampai seterusnya. Masak mau LDR terus? Soal pernikahan, bukannya memang sudah sewajarnya kalau kita mikir ke arah sana? Kita pacaran sudah lama. Sudah tujuh tahun."

"Tapi aku enggak siap nikah, Ra. Kamu tahu sendiri kalau aku lagi konsentrasi mengembangkan usaha tinggalannya papaku. Aku ini sekarang tulang punggung keluarga, sedangkan pernikahan itu bukan perkara kecil. Aku enggak bisa mikir hal-hal kayak begitu. Belum mau mikir ke situ."

Meet Me in the MiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang