Bab 6

45 10 1
                                    

Halo selamat siang, sudah makan teman-teman?

Enggak tahu kenapa, tiba-tiba aja pingin publish satu bab hari ini, hehehe... Selamat membaca.


Ini sudah batang ke enam dalam dua jam sejak Giri duduk di bangku putar di depan komputer studio yang masih menyala menampilkan aplikasi Studio One. Kepulan asap membumbung, begitu pula angannya soal Kila. Anak perempuan bertubuh gempal, berambut keriting besar-besar, yang kerap jadi bulan-bulanan Adit saat ia masih bersekolah di Solo belasan tahun yang lalu.

Giri menurunkan kaki yang sedari tadi menumpu ke meja midi controller, lalu mengambil ponselnya.

"Kila Ratri," gumamnya, seraya menggulirkan ibu jari mencari media sosial perempuan yang bertemu dengannya kemarin.

Satu per satu akun bernama Kila Ratri ia telusuri. Dalam benaknya, hampir tidak mungkin perempuan itu tidak memiliki akun media sosial. Namun, entah sudah berapa profil ia amati, tidak ada satu pun yang menampakkan wajah Kila Ratri yang ia temui.

Giri mendengkus, lalu mengetik nama Aditya Pratama di kolom pencarian Instagram. Bibirnya menyeringai ketika sosok yang familier langsung berada di baris pertama pencariannya. Ibu jarinya menggulir layar. "Masih ngeband ternyata si Adit."

Ia meletakkan ponselnya ke atas meja, kemudian menempelkan punggung ke sandaran kursi. Meski waktu tinggal di Solo tidak lama, Giri sangat menikmati hari demi harinya dulu. Bisa dibilang, hampir dua tahun tinggal bersama mendiang kakek dan neneknya di Solo, adalah titik nol kariernya bermusik.

Kebebasan mencecap kegemaran sangat ia nikmati di sana. Lain sekali saat ia tinggal bersama orangtuanya. Makanya, bagi Giri kehidupan di Solo punya arti tersendiri. Ia pun ingat pertama kali ia tampil di festival musik bersama Adit dengan menyandang band sekolah mereka. Latihan berhari-hari di studio untuk pentas seni pun pernah ia jalani.

Satu tahun sembilan bulan lamanya ia tinggal di Solo bersama kakek dan neneknya hingga ia dipulangkan paksa ke Malang karena nilai-nilai akademiknya berangsur turun. Alasannya? Gara-gara band!

Namun, bagi Giri, masa-masa singkat itu sangat berarti. Bayangkan saja, anak band yang menang di festival musik. Siapa yang tidak berbangga diri? Begitu juga Giri dan teman-teman band-nya. Namun, kepopuleran mereka di sekolah bak uang logam yang memiliki dua sisi.

Teman-teman band Giri, terutama Adit rupanya silau oleh sinar bintang yang sebenarnya belum benar-benar benderang. Giri kerap melihat Adit bersikap keterlaluan kepada beberapa orang yang dianggap tidak populer. Salah satunya adalah adik kelas mereka, Kila.

"Apa dia benar-benar Kila yang itu? Kenapa dia bisa sampai ke Malang?" gumamnya sembari mengetuk sebatang rokok di atas sandaran tangan kursi.

Giri mengambil korek, lalu menyulut api buat rokoknya.

"Garapan, Gi?" Koko berdiri di ambang pintu, entah sejak kapan. Serta merta bayangan perempuan yang sejak kemarin memenuhi pikiran Giri buyar sudah.

Giri menoleh ke arah monitor yang menyala. "Yoi."

Koko mengambil gitar yang berdiri disangga stand warna hitam. "Pak Rahmat yang punya kontrakan tanya, kita mau perpanjang atau enggak."

"Aku males pindah-pindah, Ko. Kita perpanjang saja." Giri memutar bangkunya menghadap Koko yang memainkan gitarnya lirih.

"Oke."

"Ko, mungkin nggak orang yang tadinya gemuk pas SMP, pas dewasa jadi agak kurus, jadi beda gitu fisiknya?" tanya Giri, usai melepaskan asap rokok ke udara.

"Yo jelas bisa. Jangankan fisik, kelakuan dan pemikiran saja bisa berubah, kok. Kenapa?"

"Pas ngamen kemarin, ketemu sama orang yang namanya sama kayak nama adik kelasku pas sekolah di Solo. Terus pas tak amat-amati, memang mirip banget, Ko. Bedanya sekarang enggak segemuk dulu."

Meet Me in the MiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang