Riuh tepuk tangan membuat Giri membuka matanya seketika setelah ia menyelesaikan satu lagu lagi hari ini. Una Mattina milik Ludovico Einaudi rendition Gautier Capuçon memang selalu membuat magnet tersendiri. Giri tersenyum lebar menanggapi apresiasi penontonnya.
"Hai, Friend. Thank you," kata Giri ketika seorang anak laki-laki kecil bertopi Kapten America, menaruh selembar uang sepuluh ribu di case cello yang berubah fungsi jadi tempat saweran. Giri memangku bow-nya lalu mengangkat tangan sembari tersenyum kepada anak itu. "High five."
Usai menepuk telapak tangan Giri dengan keras, pria kecil itu kembali ke perempuan yang menenteng belanjaan.
Meski parkiran luar mal berisik oleh kendaraan lalu-lalang, rasanya orang-orang itu sama sekali tidak terganggu. Mereka tetap menikmati musik yang keluar dari pengeras suara yang Giri bawa.
"Jadi, kita sampai di lagu terakhir. Sebagai penutup, saya mau memainkan salah satu lagu favorit saja, judulnya None but the Lonely Heart dari Tchaikovsky." Giri mengetikkan judul itu ditambah nama Mischa Maisky di kolom pencarian Youtube di ponsel, kemudian ia menegakkan bahu. Ketika dentingan piano mulai berkumandang, ia menempelkan bow ke senar cello. Matanya terpejam, merasakan melodinya, bersiap untuk bagian yang akan ia mainkan.
Sakit. Sesak. Namun, kosong.
Begitu yang dirasakannya setiap kali memainkan lagu itu. Kurang dari tiga menit, Giri kembali membuka mata, menerima—lagi-lagi—tepuk tangan. Pria berkaus hitam itu berdiri, lalu menunduk ke arah mereka-mereka yang rela menunggunya menyelesaikan lagu satu per satu. Busking life.
Sebagai seorang pengamen musik klasik, Giri selalu mengingat orang-orang yang melihat pertunjukannya. Memang biasanya itu-itu saja, tapi kali ini ada yang berbeda. Giri menyadari ada satu sosok baru berdiri di depannya.
Rasanya, saat mulai memainkan lagu pamungkas tadi, perempuan ini belum ada.
Giri melempar senyuman ketika perempuan itu berjalan mendekat ke case cello di depannya. Ia mengamati perempuan berbatik ungu itu membungkuk, lalu meletakkan sesuatu. Tak lama perempuan itu berbalik, meninggalkan Giri yang terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seratus ribu rupiah?! Nggak salah?
"Mbak." Giri berusaha memanggil perempuan itu. Namun, perempuan itu sudah kadung berjalan menuju ke dalam mal. Untuk ukuran pengamen yang musiknya tidak banyak diminati, saweran seratus ribu rupiah, tentu jadi nominal terbesar selama ini. Apa jangan-jangan sebenarnya ia pecinta musik klasik yang mau request lagu?
Buru-buru Giri mengemasi peralatannya. Bahkan, uang yang terkumpul di dalam case pun tidak sempat ia ambil karena keburu ditumpuki cello. Kabel jack ia lepas dari amplifier, digulungnya asal-asalan, kemudian dimasukkannya ke dalam kantung luar case.
Tanpa berlama-lama, Giri lalu berjalan menuju ke dalam mal, kembali mencari perempuan yang sudah memberikan uang seratus ribu itu. Sembari berjalan cepat, ia mengingat ciri-ciri perempuan tadi. Mungkin akan sangat susah menemukan seseorang yang belum dikenal di mal sebesar ini. Namun, karena sudah kadung penasaran, Giri tak memedulikan kesulitan itu. Yang ada di pikirannya hanya perempuan berbaju batik ungu, rambut sepunggung yang diikat buntut kuda. Itu saja.
Barangkali ia ada di toko kosmetik, atau di toko sepatu, atau di toko baju, atau di area makanan? Aku akan coba datangi satu per satu.
Dengan awas, Giri memindai setiap sisi yang bisa dilihatnya. Toko kosmetik bernuansa hijau. Nihil. Ia kemudian menuju ke department store di dekat eskalator, sambil mengamati ke sana ke mari. Kira-kira lima belas menit mengitari lokasi itu, hasilnya—lagi-lagi—nihil.
Giri lanjut naik ke lantai dua, sambil terus berpikir ke mana kira-kira perempuan yang dicarinya. Toko handphone? Ia menoleh ke sisi kanan. Sepi. Ia terus berjalan lagi melewati toko-toko baju dan sepatu yang berjajar. Masih juga tidak ketemu. Meski begitu, kakinya terus melangkah menuju eskalator di sisi lain mal. Menuju ke lantai teratas, dan usaha terakhir yang bisa ia upayakan. Kalau tidak ketemu, ya, sudah. Anggap saja lebihan rezeki dari malaikat baik berbatik ungu.
Begitu melangkah keluar dari eskalator, Giri langsung menuju food court. Ia mulai lelah, makanya ia berencana untuk membeli minuman dan duduk sebentar sembari menghitung uang hasil mengamen tadi.
Giri berjalan dari sisi kiri, memandangi konter-konter penjaja makanan, sambil sesekali menoleh ke arah bangku-bangku. Namun, saat melihat ke arah dekat pilar di depan restoran cepat saji, Giri menghentikan langkahnya.
"Astaga, dia di sini rupanya," desis Giri ketika melihat sosok yang dicarinya sejak tadi.
***
Kosong.
Pikiran dan hatinya sama-sama hampa, seperti separuh nyawanya hilang ditelan realitas. Seperti bayangan hitam perlahan-lahan menjalar dari kaki ke seluruh tubuh, dan menembus kedalaman jiwa.
Ratri berjalan tanpa tujuan. Pandangannya ke depan, meski tidak benar-benar melihat arah ke mana kakinya melangkah. Ia terus berjalan, lalu berbelok ke gedung pertemuan yang berada di area stadion.
Ketika mendekati area parkir mobil belakang sebuah mal, sayup-sayup terdengar suara musik klasik di telinganya. Untuk pertama kalinya, sejak berjalan tanpa tujuan, Ratri menoleh ke sumber suara.
Entah apa yang ada di pikirannya, perempuan itu berjalan pelan, mendekat ke kerumunan orang yang mengelilingi seorang pria yang memainkan alat musik gesek besar dengan pengeras suara.
Ratri berdiri di antara sepasang kakek-nenek, dan seorang ibu yang menggandeng seorang anak laki-laki. Di depannya, ada sebuah tempat yang ia rasa adalah tas khusus buat alat gesek itu, tapi terisi lembaran-lembaran uang.
Perempuan itu mengerutkan dahi, ketika gesekan alat musik itu mengisi ruang-ruang kosong dentingan piano dengan begitu menyayat hati. Seperti sedang mengumandangkan kepedihan. Seperti mengerti akan pahit yang baru saja ia cecap.
Ratri mengambil napas dalam-dalam, ketika gesekannya memelan, lalu menghembuskan udara perlahan, ketika bunyinya berkesudahan.
Ia merogoh tas, lalu mengambil selembar uang yang tersisa di dompetnya. Tanpa ragu, ia maju lalu meletakkan uang itu di antara lembar-lembar uang lain di tas besar berbahan beludru. Kemudian, ia berbalik dan pergi menuju ke dalam mal.
Di tengah keramaian, ia terus berjalan. Menaiki eskalator satu per satu. Melewati deretan toko-toko, melewati kerumunan orang, mendahului pasangan-pasangan yang berjalan pelan.
Hingga kemudian, ia duduk deretan bangku paling sepi food court di lantai empat mal. Perempuan itu menunduk, melihat baju batik warna ungu yang masih terbungkus plastik bening. Baju bermotif sama dengan yang dipakainya hari ini. Baju yang mestinya dipakai berbarengan.
Matanya berembun. Isi dalam tasnya tidak lagi jelas dipandang. Ia mengatupkan bibir, berharap menghentikan laju air mata yang tak ia kehendaki turun cepat-cepat. Namun, rupanya kesesakan yang bersumber dari dalam sana, seperti mendorong cairan bening itu luruh.
Ratri mengusap pipi basahnya kala ia teringat masa-masa bersama Listu beberapa tahun yang lalu. Masa-masa mereka masih baik-baik saja. Setidaknya itu yang ia rasa.
Masa-masa ia berkawan akrab dengan Prameks saat Listu bekerja di Jogjakarta, sedangkan ia tetap di Solo. Masa-masa di mana mereka masih merasakan rindu buat satu sama lain. Masa-masa di mana ia masih merasakan hangat peluk mesra Listu buatnya.
Dulu, Listu tidak begitu. Ratri yakin benar, kalau Listu mencintainya, sama besar seperti yang dirasakannya buat pria itu. Listu selalu menjemputnya di Stasiun Tugu, kalau ia berkunjung ke Jogjakarta, mengajaknya ke tempat-tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelum-sebelumnya. Yang Ratri ingat, Listu adalah sosok pria yang dengannya Ratri merasa sangat diterima.
Lantas kenapa Listu kini jadi berbeda? Apa yang salah dengannya sampai-sampai Listu berpaling begitu saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Me in the Middle
RomanceNone but the Lonely Heart dari Tchaikovsky secara ajaib mengantar pertemuan Ratri yang rendah diri dengan Giri, sang musisi yang penuh dengan energi. Tanpa waktu lama, pertemanan di antara mereka pun membuat Ratri mampu melepaskan diri dari bingkai...