Ratri memarkir motornya di depan sebuah restoran di Jalan Pahlawan Trip. Ia melepas helm dan jaketnya, kemudian menoleh ke mobil Listu yang sedang diarahkan petugas parkir. Perempuan itu berjalan ke dekat pintu masuk, lalu berhenti menanti pria yang mengajaknya kemari.
"Yuk." Listu tersenyum, sembari mengantongi kunci mobil di saku celana depan. Ia berjalan mendahului, memasuki restoran yang masih sepi.
"Aku ke toilet sebentar," ucap Ratri, ketika sampai di lorong menuju ke sisi dalam restoran.
"Oke."
Perempuan itu berbelok ke toilet di sisi kiri. Sebelum memasuki bilik, ia berdiri di depan wastafel, mengamati diri di cermin yang menempel di dinding. Ada rasa tidak nyaman menyembul di kedalaman hatinya.
Ratri menyalakan keran, lalu mencuci tangan. Barangkali dinginnya air bisa mendinginkan hati. Barangkali dengan begini, ia bisa lebih tenang menghadapi Listu nanti.
"Permisi." Suara seorang pria membuat Ratri menoleh ke sebelah.
"Eh, Mbak." Pria itu mengerutkan dahi. "Mbak yang ngasih saya sawer seratus ribu di mal."
Ratri menutup kran, kemudian meraih tisu. Ia tersenyum tipis ke pria berbaju hitam itu. "Permisi."
"Pasti benar, kan?"
Ratri berhenti berjalan, kemudian menoleh kepada pria itu. "Iya."
"Kebetulan kita ketemu lagi di sini. Sendirian?"
"Saya sama pacar saya," jawab Ratri.
"Ah, pilihan waktu yang tepat, soalnya jam segini restoran masih sepi. Asyik buat ngobrol."
Ratri mengangguk. "Saya mesti ke meja, Mas siapa?"
"Giri. Saya Giri."
"Mas Giri, permisi."
Dalam langkah menuju ke meja di mana Listu duduk, Ratri menoleh ke belakang. Giri masih berdiri memandangnya sembari tersenyum. Kemudian, ketika ia kembali menghadap ke depan, ia menghela napas dalam-dalam.
"Sudah?" tanya Listu.
Ratri mengangguk, kemudian menggeret bangku. Keduanya duduk berhadapan. Sesekali di ujung matanya, Ratri bisa melihat kalau Listu mencuri pandang ke arahnya. Andai ini adalah beberapa tahun, atau beberapa bulan yang lalu, tentu Ratri akan sangat menikmati momen berdua. Sayangnya, perasaannya kini tidak lagi sama. Sejak dengan matanya, ia menemukan kenyataan yang sangat menyakitkan. Sejak ia memaksa dirinya untuk melepaskan beban. Perasaannya rupanya tidak lagi sama. Kemudian ia merasa berjuang sendirian, sedangkan Listu tidak ada di tempatnya seperti waktu-waktu yang lalu, atau bahkan tidak lagi berada di tempat yang sama, di tempat seharusnya ia berada.
"Akhir-akhir ini kamu susah banget dihubungi?" tanya Listu, begitu pramusaji berjalan menjauh meninggalkan mereka. "Tiga hari yang lalu aku telepon pun enggak kamu angkat."
"Aku sudah tidur." Ratri mencengkeram tas di pangkuannya erat-erat.
Listu melepas kacamatanya. "Tumben?"
Ratri tidak menanggapi lagi. Perempuan itu malah mengedarkan pandangan ke penjuru restoran. Ke bangku-bangku berderet yang masih kosong. "Kayaknya kita terlalu sore untuk makan malam," ucapnya.
"Kenapa, sih, Ra? Aku merasa ada yang aneh sama kamu."
Pertanyaan Listu membuat Ratri memaku. Ia berusaha menelan ludah, sebab tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering. Perlahan, ia kembali mengarahkan pandangan kepada pria yang duduk di depannya. Ada semacam gemuruh di dadanya. Seperti magma yang bergejolak di perut bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet Me in the Middle
RomanceNone but the Lonely Heart dari Tchaikovsky secara ajaib mengantar pertemuan Ratri yang rendah diri dengan Giri, sang musisi yang penuh dengan energi. Tanpa waktu lama, pertemanan di antara mereka pun membuat Ratri mampu melepaskan diri dari bingkai...