Payah.
Di dunia yang serbacepat, hebat, dan menuntut individu bergerak mengikuti alur dinamika perekonomian, rasa-rasanya aku seperti akan meledak. Terlunta seperti salah satu karakter tragis dalam tulisan Dazai; pecundang, pengecut, dan menyedihkan. Orang bilang pengalaman merupakan guru terbaik. Iya, itu benar. Benar sekali, malahan! Pengalaman merupakan guru terbaik kalau diimbangi dengan beberapa hal seperti aset, keberuntungan, dan orang dalam.
Aku?
Oke, bagaimana dengan diriku? Orang yang tengah membual ini? Ahahaha.
Cih, aku sih payah. Sudah pernah merasakan hidup di zaman kapitalis dan mati meringis; begadang secara teratur, kurang asupan gizi, beban pikiran menumpuk, kemudian asam lambung mengambil alih sisa baterai nyawa.
Tuuut. Tuuuut. Tuuut. Selesai.
Kupikir usai sudah perjalanan hidupku. Namun, aku salah! Lihatlah, oke aku ralat, bacalah curahan hatiku ini!
Pengalaman sebagai budak korporat pun tidak banyak membantu pada kehidupan kedua. Sungguh ajaib bin mujarab! Aku yang biasa menikmati membaca genre isekai dari komik maupun novel justru mengalami peristiwa seperti karakter yang kubaca. Kembali merasakan pengalaman sebagai balita, beradaptasi, belajar lagi, dan ternyata masih ngenes juga!
Satu, aku bukan anak bangsawan maupun CEO ningrat.
Di kehidupan kedua diriku bernama Melody Biru. Putri seorang perempuan sadis, Tania Biru. Setop, kalau kalian pikir aku tinggal di negara bernama Indonesia. Sekalipun nama dan bahasa di sini serupa, ternyata aku tidak menetap di negara tersebut. Bahkan orang-orangnya pun memiliki karasteritik yang amat berbeda dari penduduk di Indonesia.
Oh lupakan mengenai penduduk dan geografi. Kalian perlu tahu bahwa Tania bukanlah tipikal ibu baik hati. Dia lebih mirip ibu tiri ala sinetron. Sering mabuk, suka memukul, dan sepertinya dia ingin aku tidak ada saja. Pernah dia memaki sembari berteriak, “Anak terkutuk, rugi aku melahirkanmu!”
Sial!
Padahal aku tidak minta dilahirkan oleh Tania. Dih jangankan request, berharap pun enggan. Memangnya apa yang bisa dilakukan olehku, seorang cewek berusia enam belas tahun dengan memori wanita berusia 32 tahun terpendam dalam benak? Terbang seperti Supergirl? Menghantam monster? Roll depan? Oh iya, jawaban paling mudah: Tania Biru ingin uang.
Dua, aku tinggal di sebuah kota bernama Merah Gading. Suasananya cukup mengesankan, andai kalian mengesampingkan perihal ibu tukang pukulku itu, dan sangat ideal bagi mereka yang ingin meningkatkan harkat dan martabat melalui jalur bekerja di kantor.
Berbeda dengan masyarakat kampung, tempatku dulu bernanung sebelum mati, mayoritas orang yang kutemui memilih jalur non-PNS. Alias, gaji PNS di sini, di Merah Gading, tidak besar. Justru PNS di sini tidak terlalu mendapat apresiasi luar biasa sebab mereka hanya mendapat beberapa dijit uang saja dan dituntut totalitas dalam melayani masyarakat. Dengan kata lain, uang “sepertinya” dialokasikan untuk pembangunan sarana transportasi dan pelayanan masyarakat.
Hei, ini betulan. Merah Gading memang bersih dan aman dari pencopet, begal, tukang gendam, pokoknya sebutkan saja kejahatan di jalanan. Di sini aman. Asal orang mau keluar dan mencoba peruntungan, ada saja lowongan pekerjaan sesuai dengan minat dan kemampuan.
Tiga, Tania Biru tidak bersedia membesarkanku secara normal. Dia bisa saja bekerja sebagai pegawai di suatu perusahaan, tetapi tidak dilakukan olehnya. Aku tahu kadang dia pulang dengan pria berbeda setiap malam dan setelahnya menghabiskan uang-uangnya untuk alkohol dan bersenang-senang.
Aku bisa sekolah saja itu berkat bantuan pemerintah yang menggratiskan biaya pendidikan lengkap dengan seragam, sepatu, dan segala alat penyokong. Buku paket pun diberikan secara cuma-cuma. Itu belum termasuk peralatan tulis dan uang makan.
Oleh karena itu, aku tidak terlalu ambil pusing dengan kebiasaan Tania yang doyan mengumpatiku ataupun membuatku merasa tidak pantas sebagai insan manusia. Hatiku cukup kebal dan terlatih menghadapi oknum rasis, anarkis, dan sok kritis. Sekalipun Tania ingin membuatku merasa jatuh dan terpuruk pun tidak akan mempan. I am strooooooong!
“Keparat kamu!”
Oh lupakan. Kadang aku tidak sekuat pemikiranku.
“Aku sudah bilang jangan kembali kalau kamu hanya bawa uang segini!”
Tania, seperti biasa, meraih sapu lidi dan menggunakannya sebagai alat pukul. Berkali-kali dia mendaratkan pukulan ke betis, paha, apa pun yang ingin ia serang. Aku hanya bisa meringkuk dan berusaha mengurangi kerusakan yang ia akibatkan terhadap tubuh.
Biasanya Tania akan naik pitam ketika mengetahui uang saku yang kuperoleh dari sekolah tidak sesuai dengan keinginannya. Sekolah memberikan uang saku kepada siswa yang kurang mampu sebagai bentuk bantuan agar uang tersebut bisa digunakan membayar biaya transportasi. Benar-benar sistem pendidikan impian. Namun, ibuku ini ingin memanfaatkan uang saku milikku untuk kepentiangan lain.
“Dasar tolol!”
Hmmm lupakan saja mengenai bersabar.
Lantas aku memanfaatkan celah ketika Tania lengah. Lekas aku bangkit, melesat ke pintu keluar, dan kabur. Rumah susun yang sebetulnya lebih mirip hunian kelompok gangster setan pun makin terasa angker begitu suara melengking Tania menggema di belakangku. Aku tidak berani menengok ke belakang. Haih, tidak perlu. Pokoknya maju terus, pantang mundur. Beberapa ibu-ibu, sekte penggosib dan gibah, pun langsung melipir begitu tahu aku berusaha menyelamatkan hidup. Setidaknya mereka cukup tahu diri tidak menghalangi jalur pelarianku dengan membiarkanku melesat ke tangga. Sekalipun dalam posisi terancam, aku menuruni anak tangga sambil berdoa tidak terpeleset dan jatuh.
Seragam sekolahku terasa panas! Oh bukan, hatiku yang panas. Tania membuatku sadar bahwa tidak semua orang layak menjadi orangtua. Sebetulnya, kenapa sih dia begitu dengki kepadaku yang notabene adalah anak kandungnya? Gila!
Sampai di lantai dasar aku pun berlari menuju area taman. Kebetulan sore itu taman tidak ada yang menempati. Padahal biasanya anak-anak sibuk bermain di lapangan, tapi sekarang suasana amat sepi dan kosong.
Aku meraih salah satu ayunan dan duduk. Perlahan mencoba meredakan degup jantung dan deru napas. Keringat membasahi punggung dan membuat mataku perih. Aneh tidak ada dorongan menangis sedikit pun. Sekumpulan bunga merah muda dan oranye tumbuh subur di pot berbentuk buah apel. Betisku merah, harus segera diobati. Namun, sekarang aku hanya ingin menenangkan diri.
Kadang hidup bisa sangat lucu, tapi ketika lelucon meletus dan menimpaku ... ya, rasanya tidak enak!
Nasi telah menjadi bubur. Aku hanya perlu menambahkan suwiran ayam dan mungkin kecap.
“Kenapa aku nggak jadi anak CEO saja sih?” rutukku sembari menatap sekumpulan lebah madu yang tengah berdengung di sekitar pot bunga. Angin berembus pelan, cukup menyegarkan. Pohon-pohon tampak menjulang seolah ingin bersaing dengan gedung-gedung pencakar langit. “Kan seenggaknya kasih aku orangtua sehat. Nggak kaya pun nggak masalah. Yang penting waras!”
Seolah ada yang bersedia mendengar keluhanku saja!
Hahaha....
Aku, Melody Biru. Usia, enam belas tahun. Semoga saja aku bisa bertahan hidup.
Selesai ditulis pada 17 Oktober 2022.
:”) Ahahaha maaf baru saya munculkan babnya. Ehehehe. Semoga kalian suka cerita isekai modern saya yang terbaru.
Terima kasih lho saya terharu. Padahal baru tulisan “segera terbit” saja, tapi kalian baik hati sekali menyempatkan menengok. :”) I love you, teman-teman. Jangan lupa jaga kesehatan, ya. Hati-hati juga ketika berkendara di musim hujan ini.
Salam hangat,
G.C
KAMU SEDANG MEMBACA
FANTASTIC LOVE! (TAMAT)
FantasyHidup ini bisa sangat menggelikan. Kematian bisa saja bukan akhir, melainkan awal perjalanan baru. Alias, BAGAIMANA BISA AKU ISEKAI SEPERTI KARAKTER FIKTIF BACAANKU? Sialnya aku terlahir sebagai Melody Biru. Hari-hari yang kuhadapi sebagai Melody...