Ada nasihat dari salah satu kenalan di kehidupan pertama. Bunyinya kurang lebih seperti ini: “Ketika ada satu kesialan datang, biasanya akan mengundang bala tentara berupa permasalahan, ketidakberesan, dan sakit kepala.” Percaya atau tidak, begitulah katanya.
“Pindah.”
Tidak ada angin, tidak ada hujan, dan tidak ada yang mengundang Tuan Masalah. Tepat di minggu kedua sekolah seorang cowok langsung menghampiri dan menyuruhku meninggalkan kursi. Oh jadi begini, model meja yang digunakan di sekolah ini bukan tipe satu meja bisa dipakai berdua, melainkan satu meja khusus untuk satu orang. Padahal aku yakin tidak ada yang menempati, tapi cowok yang entah siapa namanya ini memilih mendampratku.
“Kamu nggak dengar?”
BAAAM! Dia memukul meja. Keras.
Anak-anak pun langsung mengalihkan perhatian kepada kami. Apalagi ini masih jam awal, pagi, pelajaran pertama belum dimulai.
“Siapa yang berani menyuruhmu duduk di kursiku?” tanyanya sembari menunduk, mencoba memperlihatkan dominasi kekuasaan khas babon tengil, dan sumpah aku bisa menghirup aroma tubuhnya! Terlalu dekat! “Pindah.”
Andai saja situasi kami ini normal dan bukannya drama perebutan kekuasaan, maka aku pastilah fokus mengagumi fitur wajahnya yang tidak masuk akal. Sempurna! Sepasang mata tajam, bibir, rambut hitam, dan bentuk tubuh! Kenapa anak SMA memiliki bentuk tubuh atletis? Bukan jenis otot ala pemeran Terminator, melainkan otot seperti milik idol Korea. Siapa pun pasti rela membayar mahal hanya demi melihat cowok ini tampil di panggung sembari bernyanyi, “Na eureureong eureureong eureureong dae! Na eureureong eureureong eureureong dae!”*
Setop, kataku kepada diri sendiri.
Aku melirik sekitar, berharap mendapat bantuan, tapi percuma saja. Mereka pun terlihat kerdil dan tidak berani meluruskan kesalahpahaman. Pura-pura tidak tahu atau MEMANG tidak mau tahu.
“Bu Amanda bilang boleh duduk di sini,” aku mencoba membela diri, tidak mau bangkit. “Lagi pula, nggak ada namamu tertulis di sini....”
Ampun. Dia melotot.
Andai bisa berubah jadi Godzilla, maka sudah pasti dialah yang kuinjak duluan!
“Aku nggak peduli dengan omongan Bu Amanda,” tandasnya, kini dia menampilkan seringai mematikan. “Pasti kamu pikir bisa memanfaatkan nama besar ayahmu, Stefan Lindgren. Nama Lindgren tidak ada apa-apanya di hadapan keluarga besar Greene.”
“Apa kamu ingin adu nama besar? Begitu?” Kedua tanganku terkepal di pangkuan, haus baku hantam! “Picik! Asal kamu tahu, satu kali pun tidak ada niat dalam diriku memamerkan ayahku DAN AKU NGGAK MAU PINDAH! TITIK!”
Tersulut emosi, segera saja aku menyundul dagu cowok itu. Benturan pun tidak terelakkan. Alhasil dia mundur sembari mengadu dan menyentuh dagu, sementara aku menekan kepala sembari berharap tidak bocor.
“Dasar tidak tahu diri!” makinya.
“Kamu itu yang begundal!” balasku, sengit. Air mata terasa menyengat. Susah payah aku menahan dorongan menumpahkan kekesalan. Dadaku seperti ditusuk ribuan jarum panas yang membuatku kesulitan bernapas. “Kamu tukang tindas! Tidak memiliki toleransi dan mengira bisa menekan semua orang. Sekalipun aku kurus, pukulanmu tidak ada apa-apanya bila dibanding perempuan yang selama ini membuatku merasa terhina!”
Akhirnya air mataku tumpah.
Oh tidak, aku tidak menangis karena cowok itu. Air mata yang meluap dari bendungan masa lalu, ingatanku. Semua memori lama sekaligus masa kini berpadu jadi satu. Segalanya berjejalan dan membuatku kesulitan menahan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
FANTASTIC LOVE! (TAMAT)
FantasyHidup ini bisa sangat menggelikan. Kematian bisa saja bukan akhir, melainkan awal perjalanan baru. Alias, BAGAIMANA BISA AKU ISEKAI SEPERTI KARAKTER FIKTIF BACAANKU? Sialnya aku terlahir sebagai Melody Biru. Hari-hari yang kuhadapi sebagai Melody...