Stefan sangat murka begitu mengetahui aku menghabiskan waktu bersama Axel. Sekalipun dia marah dan kesal, tapi tidak satu kali pun meninggikan nada suara maupun memukul. Aku hanya dijatuhi hukuman seperti tidak diperkenankan melancong sesuka hati dan harus memusatkan seluruh energi dan perhatian pada pelajaran.
Perlakuan Stefan jauh lebih baik daripada orangtuaku di masa lalu. Meskipun tiga puluh tahun lebih telah berlalu, memori mengenai perbuatan mereka kepadaku masih segar seolah baru kemarin terjadi. Ayahku bukan lelaki yang bisa kubanggakan. Saat menghadapi masalah, maka dia akan mengutamakan emosi daripada solusi. Tidak peduli tempat maupun kondisi. Begitu dia marah, maka ia akan memarahiku di hadapan orang-orang. Peduli setan kesehatan mentalku. Baginya meluapkan kemarahan melalui jalan mempermalukanku adalah benar.
Pernah ayahku menyiram seember air ketika aku SD di hadapan tetangga hanya gara-gara aku pulang belepotan lumpur. Paling menyebalkan ialah ketika nilai ulanganku jelek, dia akan membentak dan membanting benda apa pun seraya meneriakiku, “Kenapa kamu bodoh? Dungu!” Seolah anak pintar itu merupakan kewajiban saja.
Intinya, Stefan jauh lebih baik daripada mereka—orangtua yang bahkan tidak paham cara menjadi orangtua yang baik.
Demi menghormati keinginan Stefan, aku pun kembali menjaga jarak dengan Axel. Di sekolah dia masih menyempatkan diri menemaniku, sekadar berceloteh perihal sesuatu yang membuatnya tertarik.
“Hei, minggu depan ada film bagus yang akan segera diputar di bioskop.” Axel duduk di sampingku. Kami sedang berada di koridor dan menikmati keripik pedas serta sebotol jus jeruk. Deretan bangku yang berjejer di sepanjang koridor telah diduduki oleh beragam siswa maupun siswi. “Kamu pasti bisa dong nonton?”
Padahal aku sudah bersusah payah membuat jarak, tapi dia sama sekali tidak mau menghormati keputusanku.
“Papa bilang aku nggak boleh berhubungan dengan Greene,” ujarku sembari berusaha membuka tutup jus. “Lagi pula, aku ingin fokus ke pelajaran.”
“Kamu seharusnya berani menyuarakan pendapat.”
“Nggak, aku memang ingin belajar saja. Masa depan perlu persiapan dan rencananya aku ingin bisa bertahan hidup di dunia serbakapitalis ini.”
Begitu tutup botol berhasil kubuka, segera saja kusibukkan diri dengan minum. Axel tetap saja berceloteh mengenai ini dan itu, sama sekali tidak tertarik membiarkanku bebas sedetik saja. Lantas aku pun bertanya, “Kenapa kamu berbuat sampai sejauh ini?”
“Apa maksudmu?”
Sambil mengangkat bahu aku berkata, “Seolah kamu merasa bertanggung jawab harus mengalihkan perhatianku dari Leo. Apa hubungan kita ini? Teman? Musuh?”
“Majikan dan budak,” balasnya, enteng.
“Oke, aku majikan dan kamu budaknya-aaaa sakit! Jangan cubit pipiku!”
Axel bersedia membebaskanku. “Kamu memang nggak bisa diharapkan.”
“Makanya aku tanya, hubungan kita itu apa?”
“Entahlah.”
Perlahan aku menghela napas dan mengembuskannya. Sulit, tapi aku harus memberi kejelasan. “Axel, terima kasih. Minggu lalu kamu bersedia menemaniku dan membuatku merasa sedikit lebih baik. Namun, aku nggak bisa memberimu peluang sebagai pacar.”
“...”
“Sekarang aku hanya ingin fokus belajar dan melupakan Leo,” cerocosku mengabaikan perubahan ekspresi wajah Axel. “Aku ingin lekas dewasa dan mandiri. Cinta hanya membuatku sakit hati dan sepertinya menguatkan diri sendiri adalah pilihan terbaik.”
“Ka-kamu ngomong apaan?”
Aku menatap Axel, tepat di matanya. “Aku akan pindah sekolah saja. Di sini semua hal hanya membuatku teringat kepada Leo dan aku lelah merasa sakit hati.”
KAMU SEDANG MEMBACA
FANTASTIC LOVE! (TAMAT)
FantasyHidup ini bisa sangat menggelikan. Kematian bisa saja bukan akhir, melainkan awal perjalanan baru. Alias, BAGAIMANA BISA AKU ISEKAI SEPERTI KARAKTER FIKTIF BACAANKU? Sialnya aku terlahir sebagai Melody Biru. Hari-hari yang kuhadapi sebagai Melody...