4. Menunggu Memang Membosankan

2.1K 567 20
                                    

Mengapa bertahan hidup begitu sulit?

Padahal aku tidak menginginkan hal-hal mahal, tapi rasanya sekadar bernapas saja bisa membuatku tercekik. Aku hanya ingin hidup normal. Bisa sekolah dan belajar seperti anak lain, memakai baju bersih dan wangi, makan sampai kenyang, berteman dan mengunjungi tempat jajan murah, serta jatuh cinta. Kehidupan semacam itu! Jenis rutinitas biasa yang sering muncul pada novel maupun manga shoujo. Sekali saja, tolong izinkan aku menjalani kehidupan remaja semestinya. Oh barangkali perasaan “terbebani” hanya ada dalam kepala saja, tidak nyata. Alias, aku sedang berhalusinasi.

Akan tetapi, tidak! Aku sadar seratus persen. Semua kejadian selama beberapa hari ke belakang memang nyata; mulai dari Tania menggamparku, pertemuan dengan Bos Mafia, pindah hunian, tes DNA, dan mungkin sebentar lagi akan terlempar ke jalanan sebagai gelandangan.

Bos Mafia tidak mengatakan apa pun terkait keberadaanku di rumah, eh salah, istananya. Aku bebas menetap di sini sampai hasil tes ada. Orang-orang pun memperlakukanku dengan baik dan sopan. Makan tiga kali sehari, mandi sabun wangi, menonton drama picisan di televisi, dan kadang melamun di jam-jam tertentu karena tidak ada kegiatan produktif. Bahkan aku mulai merindukan kegiatan di sekolah. Sudah beberapa hari aku bolos. Kemungkinan mereka—anak-anak sekelas—tidak ada satu pun yang merindukanku. Toh pertemananku tergolong menyedihkan. Ada, tapi dianggap tidak ada. Dibutuhkan ketika ada lomba sebagai kambing hitam. Mereka tidak mau repot-repot mewakili kelas dan memilih anak kalahan sebagai tumbal. Sialan.

“Setop,” kataku kepada diri sendiri, “tidak boleh memikirkan hal negatif. Bisa-bisa berdampak pada kesehatan batinku!”

Seharian ini aku hanya berbaring di ranjang. Tidak ada ponsel. Ponsel lamaku tertinggal di rusun. Iya sih ponsel itu kudapat dari salah satu guru yang kasihan kepadaku karena kesulitan mendapat informasi pembelajaran dari teman-teman. Jenis ponsel butut yang hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan dan melakukan panggilan suara. Isinya pun hanya pesan terkait kegiatan sekolah.

“Semoga si Om Mafia nggak berencana menjual organ tubuhku.”

Mengerikan dong andai hasil tes menyatakan diriku bukan kerabat si Bos Mafia?

“Ah masa bodoh!” Aku berguling-guling sembari menutup wajah. “Masa bodoh!”

***

Suatu hari Bos Mafia meminta bertemu.

Sepanjang perjalanan menuju ruang kerja jantungku bertalu cepat, menggedor-gedor rongga dada dan seolah bisa meledak kapan saja. Punggung terasa basah dan dingin karena keringat. Kedua tanganku meremas rok seakan bisa menyalurkan ketakutan melalui gerakan tersebut.

“Duduk,” katanya menunjuk salah satu kursi.

Bos Mafia terlihat keren. Objektif saja, dia memang luar biasa. Mengenakan setelan mewah rancangan desainer ternama, rambut tersisir rapi ala tokoh God Father, salah satu jari mengenakan cincin emas berhias akik, dan jangan lupakan postur tubuh bugar dan sempurna. Aku berani taruhan pasti ada banyak wanita bersedia menjalin hubungan intim dengan Bos Mafia.

Ah iya, aku baru sadar. Warna rambut Bos Mafia sama sepertiku, merah. Jenis merah yang akan mengingatkanmu pada delima ataupun apel.

‘Apakah sekadar kebetulan belaka?’ tanyaku dalam hati.

Lekas kukubur pemikiran konyol perihal hubungan darah dengan Bos Mafia. Tidak baik memberi makan egoku dengan pengharapan bahwa suatu saat kehidupanku akan berubah. Ingat, ekspektasi bisa membunuh seseorang. Aku tidak mau mati. Aku ingin hidup!

“Kenapa kamu tidak segera duduk?”

Aku berkedip beberapa kali. Pertanyaan Bos Mafia menyadarkanku. Ternyata sedari tadi aku berdiri melongo sambil bengong mirip dugong kurang kerjaan.

FANTASTIC LOVE! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang