11. Aku ini Luar Biasa! (Koreksi: Payahnya)

1.8K 482 15
                                    

“Kenapa kamu bicara seperti itu?”

Ya, kenapa aku bisa berkata seperti itu? Menilai diri sendiri dengan harga rendah. Sama sekali tidak berani meyakini bahwa aku memang pantas dicintai dan bahagia. Oh sungguh. Aku ingin memberikan petuah indah seperti butiran mutiara kepada Leo. Namun, kata-kata berisi kebanggan terlahir sebagai diriku, baik di masa lalu maupun masa kini, terasa sulit seakan semua kata menjadi benda padat dan menolak keluar dari tenggorokkan agar bisa didengar Leo—agar bisa didengar siapa pun.

“Maaf,” kataku, hambar, “sebenarnya aku tidak bermaksud menjelekkan diri sendiri.”

Kemudian aku menunduk, tidak mampu membalas tatapan Leo. Sepertinya memperhatikan sepatu dan lantai jauh lebih baik daripada menghadapi Leo—memandang matanya yang seolah bisa mengisapku ke dalam sana, ke dalam kedua mata yang seperti danau tempat para peri bermain.

“Aku punya saudari,” katanya.

“Oh.” Hanya itu yang mampu  aku ucapkan. Dua huruf. O dan H. Payah.

“Dia dulu tidak percaya diri dengan penampilannya. Merasa rendah diri karena semua anak seusianya mengenakan pakaian bagus sementara dia harus bersabar dengan pakaian seadanya. Perekonomian kami amat buruk. Mama bekerja sebagai penjahit dan tidak banyak orang bersedia menyewa jasanya. Hanya orang-orang tertentu saja.”

“Maafkan aku.”

Semakin parah rasa bersalah yang menghunjam diriku. Padahal bisa saja aku memuji dan menyemangati Leo, tapi saat ini diriku sedang berada pada zona “andai ada lubang, maka biarkan aku melompat ke dalam sana dan bergabung dengan rombongan tikus mondok”.

“Hei,” Leo memanggil, “kamu nggak perlu meminta maaf. Lagi pula, hal yang menimpa kami bukanlah kesalahanmu. Justru aku perlu mengucapkan terima kasih karena berkat dirimu keluargaku memiliki penghidupan yang lebih baik daripada dahulu. Kamu juga menolongku agar bisa sekolah lagi.”

Kali ini aku mendongak, menatap langsung ke wajah Leo. “Kamu terlalu baik.”

“Tuan Lindgren sering mengomentari diriku seperti itu! Persis ucapanmu.”

Bel pergantian jam pun berdering. Sejenak kami terdiam, lalu tertawa.

“Saatnya masuk kelas,” kataku.

“Saatnya menghadapi matematika.”

Sial! Aku benci matematika!

***

Sepertinya aku harus bersyukur belum menghadapi aljabar, logaritma, ataupun hukum kekekalan energi. Tentu saja tidak akan aku biarkan rumus dan persamaan tersebut menghantuiku, lagi. Sebisa mungkin ketika tahun ajaran baru tiba, aku akan memilih kelas tanpa pelajaran berhitung, rumus, persamaan, dan semua kerabatnya. Andai saja guru-guruku memahami petuah salah satu idol Korea favoritku yang berkata perihal menggunakan kalkulator di saat terdesak.

Secara garis besar keseharianku di sekolah JAUH LEBIH aman dan sentosa berkata kehadiran Leo daripada sebelumnya.

Mohon maaf, siapa bilang dikejar cowok ganteng itu menyenangkan? Pada kasusku dikejar Axel NGGAK ada enaknya. Dia mirip banteng yang siap sedia menyerang toreru-nya. Berkat Leo risiko terkena serangan panik dan dijadikan musuh cewek satu sekolah pun berkurang. Setidaknya mereka, para pengagum Axel, tidak akan mengancamku.

Lalu, sepulang sekolah aku tidak menemui Stefan. Dia sepertinya bergelut dengan bisnis dan segala urusan membesarkan Lindgren. Padahal aku tidak keberatan mendengar satu dua curahan hati Stefan mengenai pekerjaannya. Bagaimanapun juga kami ini ayah dan anak, saling bertukar informasi menyebalkan mengenai kehidupan tidak akan membunuhku.

FANTASTIC LOVE! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang